menjadi mahasiswa adalah suatu anugerah yang diberikan Tuhan kepada saya. Ini bukan soal desain masa depan lebih cerah, apalagi jaminan pasti kaya, tapi soal sebuah anugerah "reformasi" pola perilaku, pola pikir, dan pola hidup. (gaya abiss, hahahaa). tak terasa untuk mendapatkan proses itu semua diperlukan waktu 3,5 tahun berlalu (memang jatah kuliahnya segitu), tak mudah melewatinya, tak lengkap pula sebuah perjalanan tanpa duri. Salah satu duri klasik akhirnya menimpa saya kira-kira 1,5 yang lalu.
se"klasik" apakah? saya rasa ketika kita berbicara tentang kampus, masalah seperti ini selalu ada. yaitu fenomena klasik mahasiswa kupu-kupu. mahasiswa yang sangat bebas layaknya kupu-kupu, tetapi menutup dirinya untuk menyinggahi tempat-tempat baru. Praktis, aktivitas favoritnya hanya "Kuliah-Pulang, Kuliah-Pulang (kupu-kupu)". Sang kupu-kupu ini sebenarnya sangatlah cantik menawan, tapi mata saya tertutup untuk melihat keindahan yang dimilikinya. Bukan, bukan karena mata ini buta, tetapi karena otak saya menyuruh mata agar tetap tertutup. Otak saya selalu menggerutu melihat mereka seraya melontarkan tanda tanya besar didalam hati, "kok bisa sih mereka hidup dengan pola seperti ini?", "bersosialisasi kan ga susah susah amat, kok mereka ini pada ga mau sih??", " Gawat, gimana mereka mau jadi dokter bintang 7 yang salah satu poinnya adalah dokter sebagai komunikator kalo semasa kuliah aja kaya gini??", masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan serupa yang saya pikirkan.
Kupu-kupu Monarch
Alhasil, sang kupu-kupu ini diperlakukan bagai Kupu-kupu Monarch oleh para aktivis kampus. Kupu-kupu monarch adalah kupu-kupu yang bermigrasi dari Amerika Utara ke Meksiko pada setiap tahunnya dan memiliki morfologi sangat indah, akan tetapi kini terdaftar sebagai hewan yang terancam punah. Klaim sang aktivis, mahasiswa seperti ini akan segera punah. punah. dan punah. Adapula aktivis yang menganggap sang kupu-kupu rupawan sebagai kambing hitam, tergambar dalam pidato penyambutan mahasiswa baru (maba), sang aktivis sering mengkambinghitamkan kupu-kupu agar prilaku mereka tidak di contoh mahasiswa baru, "jangan sampai kalian semua yang ada disini menjadi mahasiswa kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah pulang" begitu lantangnya ia berteriak.
Sedangkan saya, masih berkutat dengan gerutu tiada akhir, berharap mereka yang apatis ini segera sembuh. Hingga akhirnya suatu hari saya tertegun oleh "lomba panjat pinang". masih ingat kan dengan lomba ini?? itu loh.. yang semuanya saling bahu membahu membentuk susunan manusia agar puncak pinang yang penuh hadiah dapat dicapai. biasanya dimainkan dalam menyambut hari kemerdekaan NKRI. Teori memenangkan lomba panjat pinang ini mudah, tinggal susun aja manusia setinggi mungkin, tapi tidak seperti itu realita yang terjadi di perlombaan, banyak rintangan yang ada. Dimulai dari oli, waktu, berat anggota, kekuatan fisik anggota, dan lainnya.
Seiring pengalaman yang diberikan Tuhan melalui beberapa kesempatan, akhirnya saya mengambil hikamah dari "lomba panjat pinang" untuk meredam gerutu hati saya terhadap sang kupu-kupu. Belajar merubah cara pandang saya terhadap mereka melalui sebuah lomba rakyat..dari lomba ini saya mendapat dua pelajaran, pertama, kebanyakan pemenang lomba ternyata memiliki satu anggota yang lincah, tubuhnya ringan, dan umurnya masih muda, bukan tim berkomposisi anggota berberat badan hampir sama. Dari sana saya berpikir, memang Tuhan telah merancang proporsi mahasiswa di semua kampus untuk saling melengkapi, ada yang Kupu-Kupu, Kura-Kura (kuliah rapat, kuliah rapat), Kursi (KUliah peRpus organisaSI), bahkan saat ini sudah sudah bertambah pula, plesetan Kura-Kura, yaitu Kula-Kula (Kuliah gaLAu-Kuliah gaLAu). Ternyata, saya sadari bahwa kompleksisitas seperti ini merupakan sebuah anugerah, bayangkan kalau isi teman-teman sekelas semuanya aktivis. IDEAL KAH?? dapatkah kita temukan kondisi Virtual Community (masyarakat virtual) yang merupakan diferensiasi dari potret masyarakat sesungguhnya.(TIDAK), tidak ada masyarakat virtual bila kondisinya seperti itu. Bahayanya, karena kita hanya berhadapan dengan populasi yang homogen, ilmu "aktivis" yang dimiliki nantinya pada ga bisa diterapkan pada masyarakat yang hampir 99,9999% populasinya heterogen, karena ilmu yang didapat tidak memenuhi standar analisis inferensial. praktis, kelabakan ketika terjun di dunia nyata!! poinnya, eksistensi kupu-kupu menciptakan ruang belajar heterogen bagi aktivis.
kedua, agar menang harus ada yang rela di bawah, yang rela dijadikan pijakan, ada yang harus (terkadang memang) tega untuk menginjak dan pasrah diinjak. Apakah anggota tim yang paling atas paling enak? tidak juga, dia harus berani menantang ketinggian dan bila jatuh pasti paling parah cederanya. Izinkan saya untuk bertanya, dimanakah posisi aktivis seharusnya dalam perlombaan ini?? pendapat saya pribadi aktivis sepantasnya mendapat posisi yang paling bawah dalam susunan tim, menopang beban paling berat di banding yang lain, tetapi ingat!! Dialah "SANG PIJAKAN" yang apabila rapuh, maka semua susunan akan runtuh... secara otomatis, gapaian kemenangan tidak akan terjadi. sekarang fenomenanya, sang aktivis bukannya memperkuat diri menjadi "sang pijakan" gagah perkasa, malah ribut soal enak-ga enak ama orang-orang orang-orang yang bertumpu padanya..termasuk kupu-kupu. habis sudah waktu untuk mendebat, didebat, dan lalai dalam memperbaiki keadaan. Padahal, bila kita jeli dalam membagi tugas dengan "kupu-kupu" sesuai porsinya, insya'Allah tujuan dapat dicapai. Karenanya aktivis identik dengan "problem solver, bukan ploblem liker". sadari bahwa menjadi aktivis punya tanggung jawab besar ketimbang mahasiswa kupu-kupu dan kula-kula, kalau mau menjadi aktivis tetapi tanggung jawabnya seperti kupu-kupu, ya PECAT saja diri anda dari label aktivis. ga susah-susah amatlah,,, paling ga kalau ditanya, sebagai apa?? pensiunan aktivis ^^
Mungkin banyak perbedaan pendapat terhadap fenomena mahasiswa kupu-kupu ini. Tolong jangan hakimi saya yang hanya mencoba melihat dengan lensa berbeda. ya.. saya akhirnya melihat, saya mencoba tidak lari dari kenyataan dengan menutup mata. ya.. akhirnya saya belajar membiarkan mata saya terbuka lebar melihat mahasiswa kupu-kupu disekitar saya. tak bisa saya pungkiri, memang begitulah adanya mereka. mereka bisa dirubah menjadi lebih menawan dari aktivis, tapi adapula yang menolak dan jangan sekalipun kita paksa. Ternyata sang kupu-kupu juga menawan layaknya kita yang juga ingin selalu tampil menawan. ketika keindahan itu terlihat, otak mau diajak kompromi untuk menerima doktrin baru bahwa sang kupu-kupu bukan musuh kita. alih-alih dalam beberapa hal tertentu kita membutuhkan sang kupu-kupu, terkadang kita juga menjadi kupu-kupu.
Jangan benci kupu-kupu wahai aktivis,,,
karena aktivitasmu tanpa kupu-kupu akan terasa hampa,,,
Sedangkan saya, masih berkutat dengan gerutu tiada akhir, berharap mereka yang apatis ini segera sembuh. Hingga akhirnya suatu hari saya tertegun oleh "lomba panjat pinang". masih ingat kan dengan lomba ini?? itu loh.. yang semuanya saling bahu membahu membentuk susunan manusia agar puncak pinang yang penuh hadiah dapat dicapai. biasanya dimainkan dalam menyambut hari kemerdekaan NKRI. Teori memenangkan lomba panjat pinang ini mudah, tinggal susun aja manusia setinggi mungkin, tapi tidak seperti itu realita yang terjadi di perlombaan, banyak rintangan yang ada. Dimulai dari oli, waktu, berat anggota, kekuatan fisik anggota, dan lainnya.
Seiring pengalaman yang diberikan Tuhan melalui beberapa kesempatan, akhirnya saya mengambil hikamah dari "lomba panjat pinang" untuk meredam gerutu hati saya terhadap sang kupu-kupu. Belajar merubah cara pandang saya terhadap mereka melalui sebuah lomba rakyat..dari lomba ini saya mendapat dua pelajaran, pertama, kebanyakan pemenang lomba ternyata memiliki satu anggota yang lincah, tubuhnya ringan, dan umurnya masih muda, bukan tim berkomposisi anggota berberat badan hampir sama. Dari sana saya berpikir, memang Tuhan telah merancang proporsi mahasiswa di semua kampus untuk saling melengkapi, ada yang Kupu-Kupu, Kura-Kura (kuliah rapat, kuliah rapat), Kursi (KUliah peRpus organisaSI), bahkan saat ini sudah sudah bertambah pula, plesetan Kura-Kura, yaitu Kula-Kula (Kuliah gaLAu-Kuliah gaLAu). Ternyata, saya sadari bahwa kompleksisitas seperti ini merupakan sebuah anugerah, bayangkan kalau isi teman-teman sekelas semuanya aktivis. IDEAL KAH?? dapatkah kita temukan kondisi Virtual Community (masyarakat virtual) yang merupakan diferensiasi dari potret masyarakat sesungguhnya.(TIDAK), tidak ada masyarakat virtual bila kondisinya seperti itu. Bahayanya, karena kita hanya berhadapan dengan populasi yang homogen, ilmu "aktivis" yang dimiliki nantinya pada ga bisa diterapkan pada masyarakat yang hampir 99,9999% populasinya heterogen, karena ilmu yang didapat tidak memenuhi standar analisis inferensial. praktis, kelabakan ketika terjun di dunia nyata!! poinnya, eksistensi kupu-kupu menciptakan ruang belajar heterogen bagi aktivis.
kedua, agar menang harus ada yang rela di bawah, yang rela dijadikan pijakan, ada yang harus (terkadang memang) tega untuk menginjak dan pasrah diinjak. Apakah anggota tim yang paling atas paling enak? tidak juga, dia harus berani menantang ketinggian dan bila jatuh pasti paling parah cederanya. Izinkan saya untuk bertanya, dimanakah posisi aktivis seharusnya dalam perlombaan ini?? pendapat saya pribadi aktivis sepantasnya mendapat posisi yang paling bawah dalam susunan tim, menopang beban paling berat di banding yang lain, tetapi ingat!! Dialah "SANG PIJAKAN" yang apabila rapuh, maka semua susunan akan runtuh... secara otomatis, gapaian kemenangan tidak akan terjadi. sekarang fenomenanya, sang aktivis bukannya memperkuat diri menjadi "sang pijakan" gagah perkasa, malah ribut soal enak-ga enak ama orang-orang orang-orang yang bertumpu padanya..termasuk kupu-kupu. habis sudah waktu untuk mendebat, didebat, dan lalai dalam memperbaiki keadaan. Padahal, bila kita jeli dalam membagi tugas dengan "kupu-kupu" sesuai porsinya, insya'Allah tujuan dapat dicapai. Karenanya aktivis identik dengan "problem solver, bukan ploblem liker". sadari bahwa menjadi aktivis punya tanggung jawab besar ketimbang mahasiswa kupu-kupu dan kula-kula, kalau mau menjadi aktivis tetapi tanggung jawabnya seperti kupu-kupu, ya PECAT saja diri anda dari label aktivis. ga susah-susah amatlah,,, paling ga kalau ditanya, sebagai apa?? pensiunan aktivis ^^
Mungkin banyak perbedaan pendapat terhadap fenomena mahasiswa kupu-kupu ini. Tolong jangan hakimi saya yang hanya mencoba melihat dengan lensa berbeda. ya.. saya akhirnya melihat, saya mencoba tidak lari dari kenyataan dengan menutup mata. ya.. akhirnya saya belajar membiarkan mata saya terbuka lebar melihat mahasiswa kupu-kupu disekitar saya. tak bisa saya pungkiri, memang begitulah adanya mereka. mereka bisa dirubah menjadi lebih menawan dari aktivis, tapi adapula yang menolak dan jangan sekalipun kita paksa. Ternyata sang kupu-kupu juga menawan layaknya kita yang juga ingin selalu tampil menawan. ketika keindahan itu terlihat, otak mau diajak kompromi untuk menerima doktrin baru bahwa sang kupu-kupu bukan musuh kita. alih-alih dalam beberapa hal tertentu kita membutuhkan sang kupu-kupu, terkadang kita juga menjadi kupu-kupu.
Jangan benci kupu-kupu wahai aktivis,,,
karena aktivitasmu tanpa kupu-kupu akan terasa hampa,,,
1 komentar:
Tulisanmu keren min top deh
Posting Komentar