Minggu, 08 Juni 2014

Libur Dan Rasa

Libur Dan Rasa akan terbaca aneh dan bahkan tanpa makna. Tapi kenyataannya, Libur Dan Rasa adalah "momok" yang menakutkan bagi aku dan kamu. kehadiran Libur Dan Rasa ditengah2 kita kadangkala menjadi suatu perasaan yang tak menentu. Karena itu aku selalu berusaha menghilangkan keberadaannya diantara kita. Bagaimanapun cara dan resikonya. Aku cuma ingin memastikan apa yang sudah kita bangun bersama kita akhiri bersama dengan sebuah akhir indah seperti yang selalu kira impikan sejak dulu dear. Ini waktu terlama kita berpisah dalam beberapa tahun belakangan.. doaku untuk kesehatanmu disana. Love u.

Sabtu, 10 Mei 2014

JADWAL ATLS 2014


JANUARI
10-12 Jakarta/Surabaya
17-19 Bandung/Jogya
24-26 Jakarta/Medan/Bali
31-2/2 Semarang/ Pekanbaru

FEBRUARI
7-9 Jakarta/Kupang/Bukittinggi
14-16 Balikpapan/Palembang/Solo
21-23 Jakarta/Malang/Medan
28-2/3 Jambi/Semarang

MARET
7-9 Jakarta/Makassar/Bangka
14-16 Sby/Bandarlampung/Solo
21-23 Jakarta/Bandung
28-30 Yogya/Manado/Banjarmasin/Batam

APRIl
4-6 Jakarta/Solo/Ambon
11-13 Semarang/Medan/Malang
25-27 Pekanbaru/Purwokerto

MEI
2-4 SBY/Palembang/Pekanbaru
9-11 Jakarta/Makassar/Padang
13-17 PIT PABI Bandung
23-25 Jakarta/Solo/Samarinda

JUNI
6-8 Jakarta/Bandung
13-15 SBY/BdLampung/Yogya
20-22 Jakarta/Bangka/Denpasar

JULI
4-6 Denpasar (kelas puasa)
11-13 Denpasar (kelas puasa)

AGUSTUS
22-24 Jakarta/Bjmasin/Solo
29-31 Bandung, Malang, Bktinggi

SEPTEMBER
5-7 Jakarta/Pekanbaru/Denpasar
12-14 Yogya/BandaAceh/Manado
19-21 Jakarta/SBY/
PIT Medan

OKTOBER
10-12 Jakarta/Bandung
17-19 Jambi/Medan/Jayapura
31-2/11 Jakarta/Surabaya

NOVEMBER
7-9 Medan/Samarinda/semarang
14-16 Jakarta/Pekanbaru/Makasar
21-23 Blpapan/Yogya/Palembang
28-30 Jakarta/Manado/Padang

DESEMBER
5-7 Jakarta/Semarang
12-14 Surabaya/Bandarlampung
19-21 Solo/Bandung/Palembang

Tidakkah Kita Cemburu??

Sabtu, 10 Mei 2014

Cinta Bersujud di Mihrab Taat | Salim A. Fillah

Julaibib, begitu dia biasa dipanggil. Sebutan ini sendiri mungkin sudah menunjukkan ciri jasmani serta kedudukannya di antara manusia; kerdil dan rendahan.

Julaibib. Nama yang tak biasa dan tak lengkap. Nama ini, tentu bukan dia sendiri yang menghendaki. Tidak pula orangtuanya. Julaibib hadir ke dunia tanpa mengetahui siapa ayah dan yang mana bundanya. Demikian pula orang-orang, semua tak tahu, atau tak mau tahu tentang nasab Julaibib. Tak dikenal pula, termasuk suku apakah dia. Celakanya, bagi masyarakat Yatsrib, tak bernasab dan tak bersuku adalah cacat kemasyarakatan yang tak terampunkan.

Julaibib yang tersisih. Tampilan jasmani dan kesehariannya juga menggenapkan sulitnya manusia berdekat-dekat dengannya. Wajahnya yang jelek terkesan sangar. Pendek. Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan, berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum yang diciduk dengan tangkupan telapak. Abu Barzah, seorang pemimpin Bani Aslam, sampai-sampai berkata tentang Julaibib, ”Jangan pernah biarkan Julaibib masuk di antara kalian! Demi Allah jika dia berani begitu, aku akan melakukan hal yang mengerikan padanya!”

Demikianlah Julaibib.

Namun jika Allah berkehendak menurunkan rahmatNya, tak satu makhlukpun bisa menghalangi. Julaibib berbinar menerima hidayah, dan dia selalu berada di shaff terdepan dalam shalat maupun jihad. Meski hampir semua orang tetap memperlakukannya seolah dia tiada, tidak begitu dengan Sang Rasul, Sang rahmat bagi semesta alam. Julaibib yang tinggal di shuffah Masjid Nabawi, suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. ”Ya Julaibib”, begitu lembut beliau memanggil, ”Tidakkah engkau menikah?”

”Siapakah orangnya Ya Rasulallah”, kata Julaibib, ”Yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?”

Julaibib menjawab dengan tetap tersenyum. Tak ada kesan menyesali diri atau menyalahkan takdir Allah pada kata-kata maupun air mukanya. Rasulullah juga tersenyum. Mungkin memang tak ada orangtua yang berkenan pada Julaibib. Tapi hari berikutnya, ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. ”Wahai Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.

Dan di hari ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin”, kata Rasulullah pada si empunya rumah, ”Menikahkan puteri kalian.”

”Betapa indahnya dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang Nabi lah calon menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”

”Tetapi bukan untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”

”Julaibib?”,  nyaris terpekik ayah sang gadis.

”Ya. Untuk Julaibib.”

”Ya Rasulullah”, terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya tentang hal ini.”

”Dengan Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita telah menolak berbagai lamaran..”

Perdebatan itu tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah yang meminta?”

Sang ayah dan sang ibu menjelaskan.

”Apakah kalian hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia membawa kehancuran dan kerugian bagiku.” Sang gadis shalihah lalu membaca ayat ini;

Dan tidaklah patut bagi lelaki beriman dan perempuan beriman, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al Ahzab [33]: 36)

Dan Sang Nabi dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima khairan shabban.. Wa la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah, limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Doa yang indah.

Sungguh kita belajar dari Julaibib untuk tak merutuki diri, untuk tak menyalahkan takdir, untuk menggenapkan pasrah dan taat pada Allah dan RasulNya. Tak mudah menjadi orang seperti Julaibib. Hidup dalam pilihan-pilihan yang sangat terbatas. Kita juga belajar lebih banyak dari gadis yang dipilihkan Rasulullah untuk Julaibib. Belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena kita tahu, mentaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang bagi gelimang pahala. Karena kita tahu, seringkali ketidaksukaan kita hanyalah terjemah kecil ketidaktahuan. Ia adalah bagian dari kebodohan kita.

Isteri Julaibib mensujudkan cintanya di mihrab taat. Ketika taat, dia tak merisaukan kemampuannya.

Memang pasti, ada batas-batas manusiawi yang terlalu tinggi untuk kita lampaui. Tapi jika kita telah taat kepada Allah, jangan khawatirkan itu lagi. Ia Maha Tahu batas-batas kemampuan diri kita. Ia takkan membebani kita melebihinya. Isteri Julaibib telah taat kepada Allah dan RasulNya. Allah Maha Tahu. Dan Rasulullah telah berdoa. Mari kita ngiangkan kembali doa itu di telinga.”Ya Allah”, lirih Sang Nabi, ”Limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh barakah. Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”

Alangkah agungnya! Urusan kita sebagai hamba memang taat kepada Allah. Lain tidak! Jika kita bertaqwa padaNya, Allah akan bukakan jalan keluar dari masalah-masalah yang di luar kuasa kita. Urusan kita adalah taat kepada Allah. Lain tidak. Maka sang gadis menyanggupi pernikahan yang nyaris tak pernah diimpikan gadis manapun itu. Juga tak pernah terbayang dalam angannya. Karena ia taat pada Allah dan RasulNya.

Tetapi bagaimanapun ada keterbatasan daya dan upaya pada dirinya. Ada tekanan-tekanan yang terlalu berat bagi seorang wanita. Dan agungnya, meski ketika taat ia tak mempertimbangkan kemampuannya, ia yakin Allah akan bukakan jalan keluar jika ia menabrak dinding karang kesulitan. Ia taat. Ia bertindak tanpa gubris. Ia yakin bahwa pintu kebaikan akan selalu terbuka bagi sesiapa yang mentaatiNya.

Maka benarlah doa Sang Nabi. Maka Allah karuniakan jalan keluar yang indah bagi semuanya. Maka kebersamaan di dunia itu tak ditakdirkan terlalu lama. Meski di dunia sang isteri shalihah dan bertaqwa, tapi bidadari telah terlampau lama merindukannya. Julaibib lebih dihajatkan langit meski tercibir di bumi. Ia lebih pantas menghuni surga daripada dunia yang bersikap tak terlalu bersahabat kepadanya. Adapun isterinya, kata Anas ibn Malik, tak satupun wanita Madinah yang shadaqahnya melampaui dia, hingga kelak para lelaki utama meminangnya.

Saat Julaibib syahid, Sang Nabi begitu kehilangan. Tapi beliau akan mengajarkan sesuatu kepada para shahabatnya. Maka Sang Nabi bertanya di akhir pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?”

“Tidak Ya Rasulallah!”, serempak sekali. Sepertinya Julaibib memang tak beda ada dan tiadanya di kalangan mereka.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?”, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambertanya lagi. Kali ini wajahnya merah bersemu.

“Tidak Ya Rasullallah!” Kali ini sebagian menjawab dengan was-was dan tak seyakin tadi. Beberapa menengok ke kanan dan ke kiri.

Rasulullah menghela nafasnya. “Tetapi aku kehilangan Julaibib”, kata beliau.

Para shahabat tersadar.

“Carilah Julaibib!”

Maka ditemukanlah dia, Julaibib yang mulia. Terbunuh dengan luka-luka, semua dari arah muka. Di seputaran menjelempah tujuh jasad musuh yang telah dia bunuh.

Sang Rasul, dengan tangannya sendiri mengafani Sang Syahid. BeliauShallallaahu ‘Alaihi wa Sallammenshalatkannya secara pribadi. Ketika kuburnya digali, Rasulullah duduk dan memangku jasad Julaibib, mengalasinya dengan kedua lengan beliau yang mulia. Bahkan pula beliau ikut turun ke lahatnya untuk membaringkan Julaibib. Saat itulah, kalimat Sang Nabi untuk si mayyit akan membuat iri semua makhluq hingga hari berbangkit. “Ya Allah, dia adalah bagian dari diriku. Dan aku adalah bagian dari dirinya.”

Ya. Pada kalimat itu; tidakkah kita cemburu?

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

Senin, 05 Mei 2014

Berasa Tumpul

Berasa tumpul...
Mgkin itu yg skrg sy rasakan.. 
Dipenghujung karir akademik bukannya senang terbebas dari status mahasiswa. Sy malah banyakan bingungny. Hhahaha. Bukan bingung mau kemana. Karena sudah jelas internship menunggu. Tapi bingung ttg apa yg bisa sy lakukan...

Hobby bisnis ini harus disalurkan..
Tapi untuk berbisnis.. belum ada ide klopp.. selalu ada rasa gagal yg menghantui.. selalu ada rasa ide yang mentok.. dan selalu merasa intuisi ini menumpul. Suatu kemunduran signifikan bila benar adanya demikian..

Maka dari itu... mei. Juni. Juli. Agustus. Harus jadi momen penting pembuktian bahwa semua hal tadi hanya perasaan belaka. Mari mencoba mereset otak ini untuk tidak bergantung pada satu usaha.. tapi mencoba juga ke usaha lainnya... 

Gagal itu hal yang sangat biasa. Karna gagal pula keberhasilan begitu nikmat untuk di rasa.

Jumat, 02 Mei 2014

KULI : Keren vs Cemen

 “Salah satu hal yang bikin saya kabur ke Jerman karena saya gak tahan dengan budaya ceng-cengan di Indonesia. Kuliah sambil bekerja kasar sekalipun, di Jerman dianggap keren. Di Indonesia, kerja kotor diangap cemen. Budaya ceng-cengan itu bikin mental orang gak maju,” ~ Sandhy Sondoro

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by phii | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code