Apa yang anda pikirkan ketika mendengar dokter perusahaan?......rasanya nyaman , fasilitas lengkap, gajinya lumayan, kerjanya enak…..Ya itulah yang saya pikirkan ketika saya menerima tawaran pekerjaan menjadi dokter perusahaan. Tapi jauh dari pemikiran itu, perusahaan sawit ini bekerjasama dengan MER-C INA (Medical Emergency Rescue-Commite) untuk membentuk sistem kesehatan terpadu pertama di perusahaan ini. Kenapa MER-C??....Karena menurut perusahaan, ini tugas berat dan harus ditangani oleh orang profesional yang bermental baja.
Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya bingung karena jauh dari bayangan saya. Melayani kesehatan karyawan dan tanggungannya sebanyak 2600 orang dengan satu orang dokter, terdapat 4 klinik, fasilitas kesehatan minimal, SDM Kesehatan yang kurang, obat yang terbatas, Masyarkat “asli” yang keras karena kebetulan sang pemilik perusahaan adalah asli orang sini, kerjasama dengan Puskesmas setempat yang tidak jelas. Satu bulan saya lakukan “maping” lalu saya simpulkan ada 4 masalah utama:
Kesehatan belum dianggap penting oleh perusahaan sehingga Obat, Alat Kesehatan Standar, SDM, Fasilitas Paramedis masih minimal. Hal ini tidak sejalan dengan keinginan kuat Kantor Pusat di Jakarta dengan Kantor Kebun di sini.
Sistem Rujukan, Aturan Berobat, Izin sakit, Aturan Klaim Biaya pengobatan perusahaan yang belum jelas. Hal ini mengakibatkan karyawan langsung berobat ke samarinda tanpa melalui dokter perusahaan. Bisa dibayangkan ongkos transportasi saja PP Kebun-Samarinda Rp.1.200.000 belum ditambah biaya pengobatan di RS. “enak jika benar-benar berobat, jika berobat jadi alasan untuk jalan-jalan ke kota kan repot, wajarlah jenuh, kebun ini kan jarak tempuh 5 jam ke kota!!”
Kerjasama pengobatan Puskesmas. Perusahaan ini dijadikan sapi perah Puskesmas, tarif rawat jalan ±Rp.100.000-Rp.150.000 dan rawat inap ±Rp.1.300.000/malam, Program pemerintah seperti TB, Kusta, Malaria bahkan imunisasi Posyandu pun ditagih bayaran. Jika saya lihat tagihan setahun bisa Rp.90 juta-120 juta diajukan Puskesmas ke Perusahaan
Watak masyarakat yang keras “semau-mau dia saja, menganggap perusahaan ini punya saudaranya kali…hehe” menyulitkan kontrol alur pengobatan. Dan manajemen di kebun menyerahakan masalah ke dokter. Seolah para stakeholder pun ingin lepas tangan dan tak mau bentrok dengan karyawan “jagoan”. Alhasil saya pun beberapa kali bertengkar dengan pasien biasanya karena minta izin sakit namun saya tidak memberi, karena jika tidak ada surat dari saya maka gaji hari kerjanya tidak ada, ada pula pasien datang tiba-tiba minta tanda tangan rujukkan sambil mengancam sebagai syarat ganti biaya pribadinya setelah berobat ke RS namun saat berangkat tidak melalui dokter perusahaan.
Setelah saya lakukan maping dan saya cukup frustasi, selain saya harus memikirkan sistem kesehatan namun saya juga harus fokus ke pelayanan kesehatan. Jadi saya simpulkan harus dibuat aturan jelas di atas hitam putih. Menurut saya harus orang yang berpengaruh di Jakarta yang harus tandatangan, karena menurut saya jika hanya stakeholder kebun, mereka pun kurang berani untuk buat aturan tegas. Lalu saya yakinkan MER-C dan Manajemen Perusahaan bahwa memang harus segera dilakukan rapat untuk menentukan fungsi dokter di Perusahaan ini, apakah sebagai dokter perusahaan yang bertanggung jawab tentang seluruh masalah kesehatan atau sebagai dokter jaga klinik perusahaan yang hanya fokus pada pelayanan kesehatan. Alhamdullilah akhirnya Perusahaan yakin, dan orang ke-3 Perusahan ini datang rapat di kebun ini. Dan telah dibuat aturan jelas di atas hitam dan putih mengenai aturan berobat, aturan rujukan, aturan permintaan izin sakit, standar minimal alkes klinik, fasilitas paramedis, pemenuhan sarana prasarana klinik, pemesanan obat tiap bulan yang dilakukan leh dokter tanpa bisa dikurangi atas nama budget, pemenuhan SDM paramedis. Mungkin terlihat mudah, dibalik itu banyak intrik, perang pemikiran, adu argumen, yang mengingatkan saya “untung saya ikut organisasi dari dulu” lobi-lobi kanan kiri sudah biasa.
Tapi ada masalah penting tentang izin klinik, perlu diketahui klinik perusahaan ini belum memiliki izin, dan syarat izin klinik salah satunya adalah rekomendasi Puskesmas setempat. Sedangkan hubungan Puskesmas dengan saya sudah tidak harmonis karena “Pemasukan” mereka sudah jauh berkurang. Saya pun kembali bingung, apakah alasan yang tepat untuk renegosiasi. Selalu ada jalan!!, saya lihat tagihan klaim puskesmas masih ada yang belum dibayar perusahaan, jelas saja karena tagihannya kan mahal sekali. Ini jalannya!!, saya lobi Kepala Puskesmas bahwa akan saya bantu untuk menyelesaikan tagihan dengan membawa Kasie Kebun ke Puskesmas untuk dieksekusi dan saya tawarkan untuk kerjasama Posyandu serta laporan SP2TP bulanan Puskesmas. Alhasil, rekomendasi klinik disetujui, lalu saya bermain cantik membuat surat MoU sepihak yang ditandatangani GM Kebun, inti surat itu adalah setiap biaya pengobatan karyawan yang tidak ada surat rujukkan dokter perusahaan tidak bisa di klaimkan sehingga suka tidak suka meeka terikat aturan itu. Lalu saya sedikit terror Puskesmas mengenai pengobatan dan imunisasi dasar gratis program Kemenkes RI, alasan saya akan saya laporkan ke Dinas Kesehatan jika masih ada Pungli, mereka pun takut akhirnya semuanya kembali digratiskan.
Saya pun cukup senang dengan pencapaian itu, namun saya pikir masa depan saya bukan di Borneo, maka saya putuskan resign dan pulang ke Lampung untuk tantangan serta pekerjaan baru. Selamat Tinggal Borneo!!
“Kesehatan adalah aset penting dan mahal bagi perusahaan maka berpikirlah penting akan hal itu”
“Meskipun disekitarmu adalah ladang emas, namun tugas mulia untuk melayani lebih berharga dari hanya sekedar emas, maka jangan halalkan segala cara untuk dapatkan emas itu apalagi mengorbankan nama mulia kesehatan”