Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim mengingatkan, Indonesia perlu mengantisipasi adanya ledakan penduduk lanjut usia (lansia) agar mereka tidak membebani generasi muda.
Sementara itu, laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam Asia 2050, Realizing the Asian Century (2011) memproyeksikan, pada 2050, sebanyak 53,6 juta (18,6%) dari 288 juta penduduk Indonesia masuk kelompok usia lanjut atau 6,5% dari total 860 juta wanita usia lanjut (wulan) di seluruh Asia. Saat itu, produk domestic bruto (PDB) per kapita Indonesia diperkirakan mencapai US$ 37.400.
Menurut International Handbook of Population jumlah wulan di Indonesia sekitar 16,4%. Diproyeksikan tahun 2050 Indonesia dihuni 51 juta wulan atau nomor 4 terbesar di dunia setelah Tiongkok (332 juta), India (233 juta), dan Amerika Serikat ( 84 juta). Dengan demikian Indonesia naik peringkat terus dari nomor 8 (2000) ke nomor 6 (2025) dan akan menjadi nomor 4 pada 2050.
Para lansia (usia di atas 65 tahun) ini memang jadi fenomena global, menarik, dan suatu isu yang strategis. Disebut strategis karena menyangkut banyak aspek, mulai dari eksistensinya sebagai pasar sampai peranan dan tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan mereka, terutama dalam bingkai welfare states.
Emban Tugas Negara
Banyak aspek yang terkandung dari angka dan indikator demografi di atas yang perlu dicermati. Bagi dunia usaha (industri dan jasa keuangan) ini tentu menjadi pasar atau konsumen yang potensial, mulai dari jasa rumah sakit (hospitality), farmasi, makanan, minuman, jasa asuransi sampai jasa perawat yang diperkirakan jadi satu profesi mahal di masa depan.
Terlepas dari mereka kaya atau punya keturunan yang kaya, kita juga perlu melihat selintas profil lansia ini secara umum. Meminjam klasifikasi Pew Research Center (2010), para wulan ini termasuk generasi Y, yaitu yang lahir antara 1980 sampai 1996, dan juga dikenal sebagai iGeneration karena sebagian besar sudah akrab dengan dunia teknologi informatika (TI) dan multimedia. Secara keseluruhan mereka adalah pasar potensial untuk aneka produk industri dan jasa.
Dari sisi negara, mereka adalah warga yang harus diurus karena menyangkut kesejahteraan sosial dan jaminan hidup mereka sebagaimana diamanatkan dalam UU No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Dari sinilah pembicaraan tentang keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi penting. BPJS adalah alat menuju terciptanya welfare state (negara kesejahteraan), di mana negara menjamin kesejahteraan rakyat sepanjang hayatnya.
Sudah disepakati antara pemerintah dan parlemen bahwa BPJS I (jaminan kesehatan) mulai beroperasi Januari 2014, lebih awal dari BPJS II (jaminan hari tua dan pensiun) yang masih dibicarakan. Dengan masa berlaku yang masih lebih dari dua tahun lagi, maka lembaga hasil tranformasi dari empat badan usaha milik negara (BUMN) ini masih memiliki waktu cukup untuk sosialisasi secara lebih luas dan tepat. Hal ini penting karena BPJS kelak menjadi ujung tombak bagi terciptanya konsep negara kesejahteraan (welfare states) yang sekarang sedang mengalami ujian di sejumlah negara akibat krisis.
Krisis fiskal yang melanda sejumlah negara Eropa, khususnya anggota Club Med — sebutan untuk Negara di Eropa selatan di kawasan mediterania (seperti Yunani, Spanyol atau Italia), telah membuat negara-negara tersebut sudah tak mampu lagi memberi jaminan sosial dan kesejahteraan yang memadai dari negara.
Bersamaan dengan itu sudah semakin marak gelombang demo yang menuntut jaminan kesejahteraan. Butirbutir penting dalam visi Millenium Development Global mulai terganggu. Hal ini akan semakin parah jika ancaman krisis masih terus berkepanjangan, di samping kelangkaan komoditas penting dunia lainnya.
Konsep negara kesejahteraan juga sedang mengalami ujian di negara-negara maju, seperti kawasan Nordic (Denmark, Swedia) dan Mediteranian, Inggris, Jerman, Prancis. Sementara di AS, konsep negara kesejahteraan sedang bertransformasi karena kebijakan mengarah pada sikap yang rasialis terhadap kulit hitam dan minoritas lainnya. Ini diungkapkan oleh Deborah E Ward dalam “The White Welfare State, Racialization of US Welfare Policy” (2005).
Penuhi Amanat Konstitusi
Jadi, apa pun kerikil-kerikil yang muncul saat pembahasan RUU BPJS antara pemerintah dan DPR, ini bukanlah sebuah halangan tapi justru sebuah proses pemerkayaan ini. Bagaimanapun semangat dasar BPJS adalah bagian dari upaya memenuhi amanat konstitusi, bahwa Negara harus menjamin hak-hak sosial dasar seluruh rakyat. Kelompok lansia dan kelompok miskin adalah pihak yang sangat membutuhkan jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan jaminan keselamatan kerja dalam menghadapi berbagai risiko kehidupannya.
Dengan adanya BPJS, rakyat yang selama ini belum mendapatkan jaminan sosial akan mendapatkannya, dan itu ditanggung oleh negara melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jadi BPJS merupakan usaha negara/pemerintah untuk sungguh-sungguh memenuhi amanat konstitusi.
Adanya krisis fiskal di Eropa dan AS yang membuat negara-negara tersebut mengurangi anggaran untuk jaminan sosialnya, itu bukan alasan yang membuat semangat kita mengendor. Pengalaman krisis justru bisa lebih mendorong kita untuk segera merealisasikan UU BPJS. Kesejahteraan rakyat yang tejamin merupakan dambaan setiap warga Negara karena itu memang menjadi haknya.
Dengan adanya jaminan sosial dari negara, rakyat pun akan semakin merasa aman dan sejahtera. Hal itu bisa memacunya untuk meningkatkan semangat dan produktivitas kerja, yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing negara.
Oleh: Beni Sindhunata (Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency).
Tulisan ini dipublikasikan di Investor Daily pada hari Kamis, 27 Oktober 2011.
0 komentar:
Posting Komentar