(hiruk pikuk mahasiswa kedokteran sesampainya ditempat acara diskusi SJSN)
“Tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.”
Sebuah negara bisa dibilang kuat dan mandiri tidak hanya dilihat dari` sisi militer, ekonomi, dan perkembangan infrastruktur negara itu sendiri. Salah satu faktor penentu kuat/tidak, mandiri/tidak sebuah negara dapat dilihat dari sistem jaminan sosial (social security) yang berlaku di negara tersebut. Di negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, Australia, dan banyak negara maju lainnya menerapkan jaminan sosial saat pendapatan per kapita negara tersebut masih jauh dari pendapatan per kapita Indonesia sekarang.
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Maka dari itu dibentuk sistem jaminan sosial yang dikenal sebagai SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).
APA ITU SJSN?
SJSN adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Dalam mewujudkan tujuan Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum dengan prinsip nirlaba guna mengelola dana amanat yang dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta (Rakyat).
Program jaminan sosial ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dalam Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional menganut prinsip sebagai berikut:
1. asuransi
2. kegotongroyongan
3. nirlaba
4. keterbukaan
5. keberhati-hatian
6. akuntabilitas dan probabilitas
7. kepesertaan bersifat wajib
8. dana amanat
9. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar besar kepentingan peserta
Dalam pelaksanaan SJSN, dibutuhkan badan penyelenggara yaitu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) seperti yang tertera pada pasal satu ayat ke-6 UU No. 40 Tahun 2004 (UU SJSN) yang berbunyi, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”.
Selama ini, badan yang menangani asuransi seperti kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dsb ditangani oleh 4 BUMN (badan usaha milik negara) yaitu:
•Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
•Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asusransi Pegawai Negeri (Taspen)
•Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri)
•Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).
Ke-4 badan tersebut akan dilebur menjadi 2 badan BPJS, yaitu BPJS I dan BPJS II. BPJS I akan mengurusi jaminan kesehatan (Askes), dan BPJS 2 (Jamsostek, Taspen, dan Asabri) akan mengurusi jaminan ketenagakerjaan. [@ahooong]
URGENSI SJSN
Pernahkan terbayang olehmu jika suatu hari nanti seluruh rakyat Indonesia dapat ikut merasakan makna dari kata sejahtera? Pernahkah kamu berpmimpi jika suatu hari nanti “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa benar-benar terwujud? Pernahkah terlintas di benakmu suatu hari nanti seluruh rakyat Indonesia tidak lagi bergantung pada pemerintah dan ikut bersama-sama dengan pemerintah membangun Indonesia?
Negeri kita ini aneh. Banyak orang rela dikatain miskin asalkan bisa mendapatkan banyak kompensasi. Contohnya, Jamkesmas yang dulu kita kenal dengan Askeskin. Kita harusnya heran kok banyak orang kaya yang masih mau ikut-ikutan daftar. Apa kata dunia jika kita sebagai pemegang kekuasaan (re: ingat kita negara demokrasi) hanya bisa meminta-minta?
Sejak berlakunya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, tak sedikit orang yang tidak menyetujui adanya pasal yang mengatakan bahwa warga negara yang mampu akan wajib membayar iuran demi keberlangsungan SJSN ini. Padahal jika mau berlelah-lelah sebentar saja untuk mencari info tentang social security di negara lain, negara lain yang biasa kita sebut hebat itu juga memasang tarif tinggi untuk rakyatnya demi tercapainya keadilan sosial yang mereka inginkan. Jika kita meminta lebih pantaskah jika kita enggan untuk memberi lebih pula?
Kita memang patut meneladani negara lain yang sudah sukses menerapkan social security, tapi kita juga tidak bisa membandingkannya secara apple to apple. Prinsip gotong royong yang diusung oleh SJSN dirasakan pantas untuk diterapkan pada negara kita yang masih “berkembang”. Kita tidak mau kan hidup di negara kapitalis dimana yang kaya tambah kaya dan yang miskin tetap miskin?
Lalu, pernah terpikirkah jika tiba-tiba ada anggota keluarga kita yang sakit keras seperti kanker dan membutuhkan biaya pengobatan sangat banyak? Biaya cuci darah rata-rata Rp 750.000. Biaya kemoterapi bisa diatas 5 juta, belum lagi kalo butuh kemoterapi yang advanced bisa habis 10 juta untuk sekali kemoterapi. Belum biaya untuk konsultasi dengan dokter, rawat inap/jalan di rumah sakit. Kalo begini bukan mustahil kan banyak rakyat yang jadi sadikin? Sakit dikit jadi miskin.
Sekarang coba kita ingat-ingat berita yang datang dari rakyat miskin. Adanya pasien yang meninggal di rumah sakit karena panjangnya proses administrasi untuk orang miskin atau tidak terbelinya obat bukan lagi berita baru kan untuk kita? Harus berapa banyak lagi pasien-pasien terlantar yang akhirnya meninggal dunia? Namun, jangan sampai pula demi terwujudnya pelayanan kesehatan murah kita jadi menurunkan kualitas dari pelayanan itu sendiri.
Bagaimana dengan kita? Calon-calon dokter? Apa manfaat SJSN untuk masa depan kita nanti?
Jelas banyak. Menurut Ketua Umum IDI, dr. Prijo Sidipratomo, pelaksanaan SJSN akan ikut memperbaiki sistem kesehatan yang sudah ada dan ikut menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang kesehatan. Salah satunya adalah pemerataan tenaga kesehatan. Biaya kesehatan yang mahal bisa ditekan dengan diterapkannya prinsip-prinsip pada SJSN sehingga tak ada lagi pasien yang tidak terlayani karena mahalnya biaya pengobatan. Jumlah dokter di Indonesia sebenarnya banyak, tapi penyebarannya belum merata. SJSN diharapkan dapat mendorong terwujudnya pemerataan ini. Begitu juga dengan sistem dokter rujukan. Selama ini masyarakat cenderung langsung menemui dokter spesialis tanpa rujukan dari dokter umum terlebih dahulu. Padahal 70% penyakit dapat ditangani dengan pelayanan primer, seperti puskesmas dan dokter keluarga.
Begitu banyak manfaat dan harapan rakyat dengan adanya SJSN ini. Kita sebagai rakyat Indonesia meminta perlindungan dari negara dengan ikut berpartisipasi dalam pencapaian keadilan sosial yang kita idam-idamkan. Mari kita sebagai mahasiswa kedokteran ikut berperan aktif dalam mengikuti dan menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional ini. Jangan sampai Pancasila kebanggaan kita semua hanya menjadi ideologi yang tidak terwujud dalam realita. [@sriwulanrp]
NEWS UPDATE
Tanggal 28 Oktober 2011 kemarin adalah hari penting bagi seluruh ‘pejuang’ SJSN yang tersebar di seluruh Indonesia. Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, RUU BPJS (Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) akhirnya disahkan menjadi undang-undang. Dengan disahkannya RUU BPJS ini, semangat rakyat akan penggapaian keadilan sosial di Indonesia semakin membara.
Sebelumnya, mari kita ingat-ingat lagi bagaimana panjangnya proses pengesahan RUU BPJS ini. Pada tanggal 19 Oktober 2004, UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN disahkan. Pada pasal 52 ayat 2 disebutkan bahwa UU BPJS semestinya sudah disahkan selambat-lambatnya 5 tahun setelah UU SJSN disahkan (red: 2009). Namun pada praktiknya, RUU BPJS baru dapat disahkan pada tahun 2011 setelah pembahasan selama 1 tahun dengan desakan dari berbagai pihak yang menganggap pemerintah terlalu lama menunda-nunda pengesahan RUU BPJS ini.
Telah disepakati bahwa BPJS I yang mengurusi jaminan kesehatan diselenggarakan oleh Askes akan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Sementara BPJS II (Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang mengurusi jaminan ketenagakerjaan mulai dibentuk badan hukum publik pada 1 Januari 2014 dan beroperasi selambat-lambatnya 1 Juli 2015. Untuk soal anggaran, telah disepakati bahwa anggaran untuk jaminan kesehatan sebesar 5 triliyun, sedangkan anggaran untuk ketenagakerjaan belum disepakati. Askes dan Jamsostek sendiri menyatakan siap untuk bertransformasi dari BUMN menjadi badan hukum publik. Selain itu, akan dilakukan pengawasan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari dua elemen dari unsur pemerintah, dua elemen dari unsur pengusaha, dua elemen dari unsur pekerja, dan satu elemen dari unsur masyarakat.
Disahkannya RUU BPJS menjadi undang-undang, jangan menjadikan perjuangan kita ikut surut bahkan berhenti dalam memperjuangkan keadilan sosial. Justru, disini lah awal mula perjuangan yang sesungguhnya. Banyak hal krusial yang harus selalu diperhatikan. Jangan sampai pelaksanaan UU BPJS ini molor seperti UU SJSN, mengingat transformasi BPJS sendiri tidak lah mudah. Dibutuhkan keseriusan dari pemerintah, BPJS itu sendiri, serta keaktifan masyarakat dalam mengikuti proses berjalannya SJSN ini.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak diciptakan oleh pemerintah melainkan oleh rakyat itu sendiri. [@sriwulanrp]
Artikel ini dibuat sebagai amanat atas keikutsertaan delegasi FK Unsri pada acara tahunan Dept. Kajian Strategis ISMKI, Forum Mahasiswa Berbicara Nasional 2011 di Bandung, 23-25 Oktober 2011 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UNPAD. [31/10/2011]
Delegasi:
Franz Sinatra Yoga (PDU Reg 08) ● Rahman Setiawan (PDU Reg 08) ● Abdurrahman Hadi (PDU Reg 09) ● Fadel Fikri (PDU Reg 10) ● Ria Nur Rachmawaty (PDU Reg 10) ● Sriwulan Rosalinda Putri (PDU Reg 10) ● Khumaisiyah (PDU Reg 11) ● Lianita (PDU Reg 11) ● Mentari Indah Sari (PDU Reg 11)
(delegates)