Senin, 19 September 2011

Jaminan Sosial, Tanggung Jawab Siapa??

*Kastrat ISMKI 2011

Pelaksanaan cakupan universal jaminan sosial menghadapi tantangan yang berat, tetapi bukan mustahil untuk dilaksanakan. Sejauh ini, berdasarkan data kementerian kesehatan tahun 2010 dari 237,5 juta jiwa 49,22%/ 116,9 juta jiwa belum memiliki jaminan sosial. Untuk mencapai cakupan universal jaminan kesehatan pada 2014 masih banyak memiliki tantangan. Salah satu tantangan yang akan dihadapi adalah sumber dana yang tentunya tidak sedikit untuk menyukseskan program jaminan sosial nasional. Banyak spekulasi berkembang bahwa pemerintahlah yang harus menanggung semua biaya tersebut, adapula pendapat bahwa pendanaan adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia kecuali yang miskin dan tidak mampu karena pada dasarnya “tidak ada hak, tanpa kewajiban”.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita sedikit melakukan kalkulasi terkait biaya yang akan dihabiskan apabila kita menginginkan jaminan sosial yang ideal. Riset yang dilakukan Prof. Hasbullah (guru besar FKM UI) menunjukkan bahwa untuk mewujudkan jaminan sosial yang cukup ideal setidaknya pemerintah harus memiliki komitmen untuk membiayai premi asuransi sebesar Rp. 20.000 per orang setiap bulan. Apabila kita perkirakan jumlah penduduk Indonesia 250 juta, maka jumlah dana yang akan dihabiskan adalah 20.000 x 250 juta = 5 triliun dalam satu bulan yang artinya 60 triliun per tahun.

Dari kalkulasi di atas, bila pemerintah berkewajiban membiayai seluruh jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka sedikitnya 60 triliun per tahun wajib dialokasikan pemerintah. Dana sebesar 60 triliun ini sebenarnya dapat di tanggung sepenuhnya oleh pemerintah asalkan ada komitmen dan political will yang kuat. Alternatif lainnya adalah menggunakan dana bantuan sosial yang selalu dialokasikan setiap tahunnya.

Bantuan sosial ini mencapai angka 60 triliun dan tersebar diberbagai lembaga dan kementerian, antara lain kementerian pendidikan 31,2 triliun, kemendagri 8,6 triliun, kemenkes, 3,7 triliun, kemenag 6,8 triliun, kementerian sosial 2,1 triliun, kementerian pekerjaan umum 2,5 triliun, serta berbagai lembaga negara yang jumlah bantuannya bervariasi. Hal ini sangat mungkin dilakukan. Akan tetapi, secara hukum alam, untuk mendapatkan sesuatu kita harus mengorbankan yang lain. Hukum ini dapat pula terjadi bila kita mengambil dana dari bantuan sosial tersebut, karena bidang pendidikan, pembangunan sarana prasarana untuk masyarakat, dan bidang lain juga masih dalam tahap berkembang dan membutuhkan bantuan tersebut. Di lain pihak, jaminan pendidikan saat ini belum termasuk dalam kelima hal yang akan dijamin dalam sistem jaminan social nasional. Sehingga dapat saja perubahan alokasi dana ini berdampak terhadap stagnasi pengembangan bidang bidang tersebut dan menjadi bumerang yang menimbulkan masalah baru.

Salah satu bentuk ketidaksanggupan pemerintah saat ini juga tercermin dari program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Jumlah peserta jamkesmas melalui sistem kuota berdasarkan kriteria kemiskinan versi badan pusat statistik (BPS) sebesar 73 juta jiwa. Sedangkan alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk jamkesmas dan jampersal hanya 6,3 triliun untuk tahun 2011. Ini berarti pemerintah hanya menyediakan anggaran Rp. 6000 per orang per bulan. Jauh dibawah nilai ideal untuk jaminan sosial yang layak.

Melalui sistem jaminan sosial, permasalahan di atas dapat diatasi dengan iuran asuransi yang bersifat gotong royong. Prinsip ini menjunjung tinggi yang kaya, sesuai kemampuannya, membantu yang miskin, yang tua membantu yang muda, sehingga semua beban akan terasa lebih ringan. Prinsip gotong royong inilah yang akan diintegrasikan dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional. Semua rakyat Indonesia wajib menjadi peserta jaminan sosial nasional dan membayar iuran yang nantinya secara kolektif menjadi dana amanat. Pengecualian membayar iuran diperuntukkan bagi rakyat miskin dan tidak mampu, mereka bukannya tidak dihitung iurannya tetapi iuran mereka akan ditanggung oleh negara. Berdasarkan data sebelumnya bahwa penerima jamkesmas 73 juta kita anggap sebagai peserta yang iurannya dibayar pemerintah, maka pemerintah berkewajiban membayar iuran minimal 16,8 triliun setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan nilai yang wajib dikeluarkan pemerintah bila menanggung biaya seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaan dan pernyataan yang kerap muncul belakangan adalah “dimana tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial? Bukankah pemerintah menjamin rakyat dan sewajarnya membayar keseluruhan biaya jaminan sosial?” Iuran jaminan sosial ini bertentangan dengan UUD 45!!” hingga terjadi penolakan diberbagai daerah dan demo oleh beberapa pihak dengan latar belakang yang berbeda. Sehingga ada upaya untuk uji materi pasal 17 UU SJSN yang berisi dan upaya penghilangan pasal tersebut. Adapun poin yang tercantum dalam pasar 17 UU SJSN adalah:

Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.
Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Salah satu tanggapan terkait pertanyaan dan pernyataan tersebut muncul dari Prof. Hasbullah. Menurut beliau jika pemohon dalam Uji Materi tersebut mendalilkan bahwa “iuran wajib bertentangan dengan UUD’45”, maka pajak juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD’45. Begitu juga dengan PT Jamsostek dan PT Askes yang sudah beroperasi lebih dari 40 tahun. Karena tahun lalu, hanya sekitar 7,5 juta penduduk Indonesia yang menyampaikan SPT Tahunan, atau membayar pajak, maka dapat dipastikan bahwa menyediakan jaminan kesehatan dan hari tua bagi semua penduduk melalui pembayaran pajak saja, negara tidak akan mampu. Sekitar 90% penduduk saat ini yang tidak membaya pajak, akan menerima belas kasih dari 10% penduduk yang membayar pajak. Pada gilirannya, yang membayar pajak akan merasa berat terus-menerus menanggung semua penduduk lain yang tidak membayar pajak.

Kalau kita telaah lebih lanjut lagi, kalaupun semua ditanggung pemerintah tentu yang akan digunakan adalah APBN. APBN ini sendiri merupakan dana yang bersumber dari pajak yang juga dibayarkan oleh rakyat. Sehingga tidak menutup kemungkinan apabila pemerintah saat ini merasa tidak sanggup dapat terjadi opsi kenaikan pajak. Padahal secara prinsip pajak umum dan iuran jaminan sosial terdapat perbedaan, dimana pajak umum digunakan untuk pelayanan umum seperti membangun sekolah, membangun jalan, membangun sarana ibadah, dll. Iuran sendiri diperuntukkan untuk manfaat yang didapat dari program jaminan sosial. Walaupun ada beberapa Negara di eropa barat yang menyatukan pajak umum dan iuran tersebut. Hal ini dapat dilakukan tetapi jumlah pajak yang harus dibayarkan mencapai 50% gaji atau upah.

Hal tersebut tentu berbeda dengan sistem yang dianut di Indonesia dan juga amerika yang mengupayakan pajak yang rendah. Maka dari itu perlu adanya iuran dari peserta jaminan sosial nasional. Lagipula, iuran ini sifatnya dana amanat dan nirlaba, sehingga semua dana yang terkumpul beserta keuntungannya adalah milik rakyat dan dikembalikan kepada rakyat melalui pengembangan layanan jaminan sosial, perbaikan sistem, serta peningkatan sarana dan prasarana.

Tidak menutup kemungkinan dikemudian hari Negara menjadi mapan diberbagai sektor dan pemerintah memiliki APBN yang lebih banyak yang dapat digunakan untuk membayar iuran rakyat miskin dan tidak mampu serta mampu menyubsidi bahkan menanggung iuran bagi masyarakat yang mampu. Akan tetapi berdasarkan uraian di atas, ikatan senat mahasiswa kedokteran Indonesia (ISMKI) berpendapat bahwa iuran dengan prinsip gotong royong ini merupakan langkah yang paling rasional yang dapat dipilih “saat ini” dan dalam pandangan kami UU SJSN terkhusus pasal 17 tidak memiliki pertentangan ataupun melanggar UUD 45.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by phii | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code