Senin, 19 September 2011

KENDALA REALISASI SJSN

Mengulas sejarah pada tahun pertama pengesahan, tepatnya beberapaa bulan setelah pengesahan yaitu tanggal 21 februari 2005, UU SJSN diajukan untuk dilakukan uji materi yang keputusannya dibacakan mahkamah konstitusi pada tanggal 31 agustus 2005. Uji materi dilakukakan oleh beberapa pemerintah daerah (DPRD Provinsi Jawa Timur, Pengurus JPKM Provinsi Jawa Timur, Pengurus Satpel JPKM Kabupaten Rembang, dan Pengurus Perbapel JPKM DKI Jakarta) yang berpendapat bahwa hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakukanya UU SJSN. Disamping itu, beberapa pemda tersebut berpendapat bahwa UU SJSN bertentangan dengan UUD 1945 dan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda serta menyatakan bahwa pemerintah pusat (departemen kesehatan) telah menafsirkan UU SJSN sepihak melalui penerbitan keputusan Menteri kesehatan nomor 1241 tahun 2005 tentang penugasan PT ASKES sebagai pengelola program jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Keputusan mahkamah konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan hal ini merupakan pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kebijakan terkait. Di bagian lain, pertimbangan hukumnya mahkamah konstitusi berpendapat bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan jaminan social nasional bukan saja menjadi kewenangan pusat, tetapi dapat juga menjadi kewenangan pemerintah daerah. Karena itu undang undang sistem jaminan social nasional tidak boleh menutup peluang pemerintah daerah untuk ikut  mengembangkan sistem jaminan social sebagai sistem jaminan social nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan pasal 18 ayat (2) dan (5) undang undang dasar Negara RI tahun 1945. Putusan Mahkamah konstitusi juga mengingatkan pentingnya upaya pembentukan BPJS tingkat daerah, hal ini untuk menjaga terjadinya keselarasan dan kesinergisan kerja dari pusat dan daerah. Sehingga diharapkan tercipta sistem yang baik dalam tatanan konsep dan teknis pelaksanaan di lapangan. Norma, standar, dan prosedur BPJS tingkat daerah harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan daerah.
Setelah putusan mahkamah konstitusi tersebut keluar, dalam beberapa tahun setelahya hampir tidak pernah terdengar usaha memperjuangkan SJSN. Pada tahun 2010 dan 2011 usaha memperjuangkan SJSN kembali terdengar. Saat ini, tahun 2011, Undang undang ini telah memasuki tahun ke 7 sejak pengesahan. Yang artinya undang undang ini telah melalui 2 kali pergantian kepala negara dan kabinetnya, akan tetapi realisasi dari undang undang yang menjamin nasib rakyat indonesia sama sekali belum ada. Semua stakeholder menurut kacamata rakyat jelata terasa lalai untuk menjalankan sebuah amanat yang jelas harus dilaksanakan. Salah satu yang masih menjadi permasalahan dalam pelaksanaan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Rancangan Undang Undang BPJS ini sendiri saat ini telah menjadi prolegnas 2011 dan termasuk pembicaraan tingkat 1.
Beberapa informasi terbaru terkait  Rapat Kerja terkait Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diungkapkan ketua pansus BPJS, Nizwar Shihab saat membacakan kesimpulan, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2011). Antara lain:
  1. DPR RI dan pemerintah sepakat menerima laporan Panja RUU BPJS dengan catatan bahwa dua paragraf pertama pada angka 2 huruf g dikeluarkan.
  2. Pansus RUU BPJS DPR RI dan Pemerintah sepakat  untuk membahas usulan pemerintah tentang delapan pokok-pokok pikiran ketentuan peralihan untuk dibahas lebih lanjut dalam raker pansus.
  3. Pansus RUU BPJS DPR RI dan pemerintah sepakat bahwa prinsip dalam bab ketentuan peralihan yang telah disepakati dalam panja RUU BPJS 5 Juli 2011, terdiri dari tujuh butir akan dibahas dalam raker pansus.
  4. Sisa DIM sejumlah 46 yang tidak terkait dengan transformasi akan dibahas di rapat pansus RUU BPJS.
  5. Kelima, Raker kerja Pansus RUU BPJS selanjutnya akan dilaksanakan 19 Juli 2011 pukul 16.00.
  6. Pemerintah dan pansus RUU BPJS DPR RI sepakat untuk mengusulkan perpanjangan pembahasan RUU BPJS dilanjutkan pada sidang yang akan datang.

Setelah itu, dilakukan Rakernas SJSN yang kelima bertema “Transformasi Jaminan Sosial” diikuti oleh sekitar 180 peserta, yang terdiri atas utusan Pemerintah Daerah dari 33 provinsi, 13 Kementerian/Lembaga Negara (Kemenkokesra, Kemenkes, Kemenakertrans, Kemensos, Kemhan, Kemendagri, Kemen PAN dan RB, Kementerian PPN / Bappenas, Kemenhukum dan HAM, DJSN, Mabes TNI, Mabes POLRI, BPS), organisasi pekerja, organisasi pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, konsultan dan para ahli jaminan sosial. Ketua DJSN Ghazali H. Situmorang mengungkapkan enam rekomendasi dari peserta Rakernas kepada DJSN dalam keterangan pers seusai penutupan Rakernas SJSN di Hotel Merlynn Park Jakarta, Rabu (20/7), yaitu:

Pertama, mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU BPJS pada masa sidang 2011 berikutnya, untuk memenuhi amanat Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Kedua, mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk merumuskan proses transformasi kelembagaan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Ketiga, mendorong pemerintah dan DPR untuk menetapkan arah transformasi program menuju pemenuhan hak konstitusi warganegara secara lengkap atas jaminan sosial; yakni 5 (lima) program untuk pekerja dan 2 (dua) program (Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kematian) untuk penerima bantuan iuran.
Keempat, sehubungan telah disepakati 2 (dua) BPJS yaitu BPJS I (Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian) dan BPJS II (Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun) dalam rapat Panja DPR dengan Pemerintah, tidak menutup kemungkinan alternatif BPJS sebagai berikut :
1.      BPJS Askes menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk semua penduduk kecuali anggota TNI/POLRI beserta keluarganya dan pekerja swasta.
2.      BPJS Jamsostek menyelenggarkan jaminan kesehatan (JK) , jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP) dan jaminan kematian (JKm). Untuk semua pekerja swasta (penerima upah dan bukan penerima upah).
3.      BPJS Taspen menyelenggarakan JKK, JHT, JKm dan JP untuk PNS.
4.      BPJS Asabri menyelenggarakan JHT, JKm, JP, JKK untuk anggota TNI/POLRI beserta janda/duda dan anaknya. TNI/POLRI tetap menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan anggota TNI/POLRI beserta keluarganya.
Kelima, mengingatkan kembali pemerintah dan DPR untuk memuat ketentuan pembentukan BPJS daerah dalam UU BPJS.
Enam, transformasi kelembagaan dan program memerlukan pengkajian yang lebih mendalam dengan memperhatikan masukan dari empat BPJS eksisting.

Rancangan UU BPJS yang digadang sebagai dasar bagi penyelenggara jaminan social dalam kenyataannya harus menghadapi kendala dalam pengesahannya. Adapun beberapa kendala yang dihadapi :
  1. Pemerintah VS Dewan Perwakilan Rakyat
  1. Sempat diusulkan bentuk BPJS adalah suatu badan yang tunggal, akan tetapi hal ini ditolak pemerintah. Penolakan berdasarkan kesepakatan delapan kementerian, pemerintah sudah menyampaikan penolakan resmi terhadap BPJS tunggal melalui Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan.
  2. Permasalahan kedua yang timbul adalah ketika kesekian kalinya pemerintah menolak usulan DPR untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang nirlaba., hal ini terjadi saat pemerintah dan DPR menyusun daftar investasi masalah (DIM) RUU BPJS Pemerintah bersikukuh tidak mau memasukan kata "nirlaba" dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) BPJS. Namun, pemerintah meminta pertimbangan itu diperingkas. Yakni menjadi "untuk mewujudkan tujuan SJSN perlu dibentuk BPJS". dengan alasan agar tidak bertentangan dengan UU SJSN. Usulan ini ditolak oleh semua fraksi, kecuali fraksi Partai Demokrat. DPR khawatir, bila aspek badan hukum nirlaba dihapus, BPJS nanti akan tetap menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hingga akhirnya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang nirlaba. Hal itu tertuang dalam forum lobi antara Pemerintah dan DPR hari rabu, 15 Desember 2010.
  3. Walaupun telah disepakati BPJS yang nirlaba, saat ini bentukan BPJS sendiri masih belum ditentukan apakah akan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau wali amanat. Hal ini akan berkaitan erat dengan status 4 badan penyelenggara yang ditetapkan dalam UU SJSN yang saat ini masih berstatus BUMN, yang artinya masih bersifat profit oriented.
  1. Penolakan Peleburan BPJS
Jamsostek Menolak Peleburan 4 BPJS
PT Jamsostek menolak untuk menyepakti peleburan empat lembaga jaminan sosial jika nanti RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) disahkan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan DPR apabila RUU BPJS disahkan.
Penolakan ini diungkapkan Kepala Divisi Jaminan dan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek Masud Muhammad dalam diskusi yang diselenggarakan Majalah Trust. "Pertama, akan ada keraguan masyarakat dengan adanya BPJS yang baru. Yang kedua, adalah diskriminasi, bukan berarti harus sama. Kalau mau disamakan, jadi aneh dong, masa yang iuran mau disamakan sama yang enggak iuran," ungkapnya. Menurutnya, setiap kelompok harus mempunyai rancangan jaminan sosial, tapi bukan berarti semuanya harus sama. Semuanya harus disesuaikan dengan karakteristik tiap kelompok penduduk yang ada. Ini karena desain manfaat perlindungan jaminan sosial tidak bisa setara.
Dia juga melanjutkan, Jamsostek yang berhubungan dengan pemberi kerja yang jumlahnya banyak, berbeda dengan PT Askes yang hanya menerima anggaran dari APBN. Oleh karenanya, penggabungan RUU BPJS hanya akan memusingkan Jamsostek. "Kita berhubungan dengan banyak pemberi kerja yang jumlahnya ribuan, ada yang nakal juga. Kalau digabung, kita pusing terutama direkturnya. Kalau direktur pusing, jangankan mikir pelayanan, pasti banyak dari mereka yang hanya mikirin dirinya sendiri," lanjut Masud.
Ancaman SPN terkait peleburan BPJS
Selain itu terdapat pula nada ancaman terkait peleburan ini, salah satunya datang dari serikat pekerja nasional (SPN). Serikat Pekerja Nasional (SPN) menolak rencana peleburan 4 BPJS yang ada, menjadi 2 BPJS. Jika rencana ini dipaksakan, SPN akan menarik seluruh dana mereka di Jamsostek. SPN justru menyarankan pemerintah, agar membentuk BPJS baru, yang mengcover jaminan sosial bagi masyarakat miskin dan pengangguran. Salah satu ancaman yaitu penarikan dana jamsostek dari 438 ribu anggota SPN yang pasti akan menimbulkan gejolak. Belum lagi SP lain yang jadi peserta Jamsostek, juga melakukan hal sama sehingga dampaknya pada sistem perekonomian Indonesia pasti merembet kemana-mana. Menanggapi niat SP untuk menarik dananya dari Jamsostek, Dirut PT Jamsostek Hotbonar Sinaga berujar; Jika pekerja benar-benar menarik dananya dari Jamsostek, akan berdampak bukan saja perBankan. Tetapi juga pada pasar modal. Goncangan yang timbul, akan mengganggu perekonomian Indonesia. "Dana di kas Jamsostek sebesar Rp100 triliun, tertanam di perBankan sekitar 30%, di saham 35%, di obligasi 40% dan di danareksa 5%. Bagaimana mungkin putaran dana sebesar itu, jika dirombak tiba-tiba tidak menggoyahkan perekonomian. Janganlah uthak uthik BPJS yang sudah berjalan baik ini. Risiko besar siapa tanggung," ungkap Hotbonar.
Hasil Survei Forum Serikat Pekerja
Penolakan peleburan empat BUMN Asuransi juga terpotret dari hasil survei Forum Serikat Pe­ker­ja (FPS) BUMN Bersatu terhadap pendapat publik terhadap BPJS.Survei ini dilakukan secara na­sional dari 30 Mei sampai 30 Juni 2011 dengan jumlah responden sam­pel asal sebanyak 10.100 orang. Populasi survei ini diambil dari seluruh masyarakat Indo­ne­sia yang punya hak mendapatkan sis­tem jaminan sosial dari peme­rin­tah, yaitu mereka yang sudah ber­umur 17 tahun atau lebih, atau s­u­dah menikah ketika survei di­lakukan.
Hasilnya, 93,8 persen respon­den tidak menginginkan keempat BUMN jaminan sosial dilebur menjadi satu. Karena keempat BUMN tersebut memberikan manfaat yang berbeda-beda ter­hadap pesertanya.
Misalnya, banyak peserta Jam­sostek yang tidak memiliki ja­mi­nan pensiun atau jaminan pengo­batan ataupun fasilitas menda­pat­kan kredit kepemilikan rumah, dan kepesertaaan Jamsostek tidak bisa dijadikan jaminan menda­patkan pinjaman dari Bank. Hal ini  berbeda dengan Pega­wai Negeri Sipil, Polisi, TNI, di­mana manfaat dari kepesertaan­nya di Askes, Taspen maupun Asabri lebih banyak manfaatnya bagi kehidupan mereka pada saat me­masuki masa tua, dan kepe­sertaan mereka di Taspen dan Asabri sangat Bankable untuk mendapat pinjaman dari Bank.
Selain itu, sebanyak 95,9 persen responden meng­inginkan adanya jaminan kese­hatan gratis dan jaminan pendi­di­kan gratis yang merupakan pe­rintah UUD 1945 pasal 28H. De­ngan demikian sebaiknya sistem jaminan kesehatan dan pendi­dikan gratis sebaiknya tidak di lakukan dengan sistem asuransi melalui BPJS, tapi di urus lang­sung oleh pemerintah. Ha­rapan masyarakat terha­dap BPJS bu­kanlah seperti lem­baga asuran­si, dimana masya­ra­kat diharuskan membayarkan pre­­minya.
  1. Isu BPJS sarat kepentingan asing
Ada beberapa pendapat tentang keanehan dalam pembentukan UU BPJS , dimana banyak peserta dari keempat BUMN yang meyelengarakan jaminan sosial tidak pernah diajak bicara atau melibatkannya dalam proses penyusunan UU BPJS yang akan berisi tentang peleburan keempat BUMN jaminan sosial, dan seakan akan hanya pembentukan UU BPJS hanya di kuasai oleh beberapa organisasi serikat pekerja serta sejumlah fraksi di DPR saja.
Kejanggalan dalam penyusunan draft UU BPJS juga terlihat karena melibatkan beberapa organisasi non goverment asing yaitu GTZ dan FES, dimana GTZ ikut aktif dalam penyusunan draft UU BPJS dan FES aktif untuk melakukan kampanye dilakukan oleh organisasi serikat buruh untuk pembentukan BPJS melalui seminar dan aksi aksi.
Selain itu Asia Development Bank juga aktif ikut mengintervensi untuk tebentuknya UU SJSN , dimana dalam undang undang SJSN diharuskannya pembentukan BPJS, terbukti dlam bantuan program ADB untuk BUMN salah satu agendanya adalah melakukan peleburan dari kempat BUMN yang mejalankan sistim jaminan sosial selama ini. Sehingga terdapat dugaan bahwa UU SJSN dan pembentukan UU BPJS banyak diintervensi oleh kepentingan asing.
Meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntangannya dikembalikan kepada peserta, BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbang-kan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portofolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.
Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan social; tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, ini menyangkut dana 190 triliun.
Karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan RUU BPJS, sebagaimana halnya UU lain, sarat dengan intervensi asing. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan Pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan Pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008, misalnya, Pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.
Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.
Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.
  1. Kesadaran Asuransi dan Polemik Berobat Gratis
Dilain pihak salah satu masalah utama reformasi kesehatan di Indonesia adalah kesadaran berasuransi yang sangat rendah. Sebagai contoh  Dari 32 juta pekerja di Indonesia, hanya 8 juta pekerja yang ikut asuransi dan sisanya belum disentuh. Hal ini juga merupakan salah satu masalah yang harus dicermati dan dipersiapkan solusinya.
Survey forum serikat pekerja sebanyak 95,9 persen dari 10.100 responden meng­inginkan adanya jaminan kese­hatan gratis dan jaminan pendi­di­kan gratis yang merupakan pe­rintah UUD 1945 pasal 28H. De­ngan demikian sebaiknya sistem jaminan kesehatan dan pendi­dikan gratis sebaiknya tidak di lakukan dengan sistem asuransi melalui BPJS, tapi di urus lang­sung oleh pemerintah. Ha­rapan masyarakat terha­dap BPJS bu­kanlah seperti lem­baga asuran­si, dimana masya­ra­kat diharuskan membayarkan pre­­minya.
Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat pada dasarnya tidak memahami secara baik prinsip-prinsip asuransi dan cenderung untuk hidup nyaman dengan slogan “gratis”. Padahal saat ini tidak ada yang gratis, kalaupun ada yang gratis tentu hanya slogan dengan mengorbankan anggaran yang lain. Pada akhirnya mutu dan pelayananlah yang akan dikorbankan.
Dalam perkembangan realisasi SJSN kerapkali terdapat perbedaan konsep antara Pemerintah dan DPR, hal ini perlu dianalisa dengan cermat dan seksama agar akar permasalahan dapat ditemukan dengan benar dan tepat. Apakah perbedaan tersebut memang dilatarbelakangi oleh perbedaan pinsip dasar mengenai pilihan sistem SJSN atau perbedaan persepsi dalam pelaksanaan UU SJSN atau perbedaan dalam menentukan prioritas pengembangan SJSN. Karena waktu 8 tahun sejak pengesahan UU no 20 tahun 2004 tentang SJSN telah berlalu tanpa ada tindakan, dan saat ini kita masih berkutat dalam konsep. Sampai kapan rakyat indonesia harus menunggu jaminan yang seyogyanya mereka dapatkan dari negara mereka sendiri.


Franz Sinatra Yoga
Ketua kajian strategis nasional (kastratnas)
National coordinator for Strategic Issues Analysis Dept. 2011
Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI)
Indonesian Medical Student Executive Boards' Association

mobile phone: 085769382203
facebook: franz sinatra yoga
blog: www.franzsinatrayoga.blogspot.com
Institusi: FK Unsri 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by phii | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code