oleh: dr. Dobi Saputra Burni
Banyak hal yang saya tahu tentang adat masyarakat desa ini. Beragam komunitas yang tinggal beragam juga adat yang dibawa. Bagi suku melayu, adat makan besar di kala menyabut ramadhan, syawal dan lebaran jadi tiap kepala keluarga membawa 1 hidang yang dibawa ke masjid lalu laki-laki yang hadir menyantap hidang yang jumlahnya ratusan tersebut, wow pesta dari ikan, cumi, kepiting, udang, kancil, kambing dan sapi terhidang, tinggal siapkan perut saja…he2. Ada juga mandi sungai untuk menyucikan diri tapi malah menjadi ajang becumbu ria muda-mudi dan menghantar sesaji ke laut sebagai rasa syukur…yang ini saya tak ikut-ikut deh syirik tampaknya. Jika suku tiong hoa di sini tiap tempat punya satu tabib (orang pintar) jadi jika ada orang sakit mereka terlebih dahulu ke sana jika jampi dan ramuan sang tabib tak mempan baru ke dokter. Terkadang saya ajak bercanda “orang pintar saja tidak bisa mengobati apalagi saya yang cuma manusia biasa”…he2.
Tapi yang paling “nyentrik” jelas suku laut (KAD (komunitas adat terpencil)). Terkadang saya bingung jika kita bilang salam dalam Islam dijawab, nanti kalo imlek dan natal mereka pun merayakan. Tapi yang jelas mereka masih percaya mistis secara kuat. Tapi bertukar istri itu kebiasaan atau adat ya bagi suku laut?. Jika ada salah seorang suku laut meninggal maka seluruh keluarga dan tetangga sekitar meninggalkannya sendiri, katanya mereka takut jika ada yang meninggal alhasil pak imam “masjid” desa mentuda di panggil kepala dusun untuk urus jenazah tersebut.
O ya saya mau berbagi tentang kisah menegangkan tentang suku laut, tanggal 7 Nopember pukul 17.00 WIB ketika saya tengah asyik menjadi wasit bola voli dalam rangka permainan rakyat untuk menyemarakan Idul adha, ada seorang bapak tua berkulit hitam legam (dalam benak saya “suku laut ni”), berkata “dok saya mau jemput ke tembok”, lalu reflek bodoh saya menjawab “tunggu bentar pak lagi jadi wasit”. Sejenak saya tersadar dari kebodohan tersebut lalu saya tanya “kenapa pak?”. Sang bapak “Istri saya melahir tadi dengan pak sabtu, pukul empati petang tadi tapi kakanya (plasenta) belum lahir”. Sontak saya kaget “Bapak siapkan pompong cepat, saya ambil alat di Pustu dulu” O ya Tembok adalah sebuah pulau yang jaraknya 60 menit dari tempat tinggal saya menggunakan pompong.
Singkat cerita saya tiba disana pukul 18.00 WIB dan orang-orang suku laut yang memang mayoritas berteriak “dokter tolong-tolong kakak kami, suntik dokter cepat!!!”. Saya lihat seorang ibu tergulai lemas dalam kamar gelap, dengan darah yang mengalir cukup deras, dalam benak saya “Syok hemorrhagic ni ec retensio plasenta”. O ya kenapa mereka melahir tempat gelap karena adat mereka ““Barang perempuan“ tidak boleh dilihat sama orang lain walaupun melahirkan”….Waduh jadi untuk menolong persalinan harus punya terawang!!!!!!. Saya lihat plasenta yang diikat oleh sabuk kelapa. Lalu saya pasang IV dan manual plasenta namun perdarahan tetap ada, saya lihat terdapat luka robek (sepintas dalam benak saya, pasti belum pembukaan sempurna udah dipaksa melahirkan”). Saya resuisitasi cairan “kocor cairan NaCL 0,9% 4 Kolf (harusnya RL berhubung tidak disediakan di Pustu apa boleh buat). Saya putuskan untuk membawa ke RS namun jika memakai pompong bisa 3 jam jadi saya putuskan untuk kembali ke desa mentuda untuk memakai Speedboat (Speed) desa, bisa menjadi 1,5 jam perjalanan.
Lalu tantangan hadir saat itu laut sedang surut sehingga “Speed” ga bisa jalan terpakasa memanggil warga untuk dorong sampai speed ketemu aliran laut yang masih ada. Alhasil saya tiba pukul 23.30 WIB. Alhamdullilah sampai juga, benar juga kata kepala dinkes “Kalo suku laut berobat kita yang terima kasih ke dia” coba kalo sempat “plus” tadi AKI (Angka Kematian Ibu) Indonesia tidak akan turun, dan HDI (Human Development Index) tetap saja di rangking-111. Singkat cerita sang ibu dan anaknya selamat setelah ditangani di RS. O ya kebetulan saja ketika ibu butuh tranfusi darah Gol Darahnya O, Rh + cocok dengan saya, jadi tak perlu repot cari darah.
Tapi ada masalah administarsi lagi, karena selayaknya pasien ini mendapatkan JKL (jaminan kesehatan Lingga), karena kelurganya pun tak ada yang bisa baca dan tak sekolah jadi saya mengaku kelurganya saya urus JKL ternyata syaratnya repot seperti surat keterangan tidak mampu, KK, KTP, Keterangan catatan sipil sebagai pendduduk, dan pas foto. Coba saya tanya keluarganya, merekapun bingung dan diam saja”. Saya coba lobi petugas JKL bisa ditolong bu, “kami hanya ada KK dan KTP”. Lalu sontak dia jawab “ga bisa!”. Saya “Tapi ini suku laut, mereka pun ga ngerti kalo disuruh urus”. Ibu “Kalo ga lengkap suruh bayar aja”. Mulai emosi saya tinggi “Ya sudah saya langsung menghadap kepala dinas”. Ibu “Ngadep aje pak silahkan”. Alhasil saya menghadap JKL bisa keluar dengan mudah tanpa syarat apapun, sang ibu JKL pun mendapat ceramah dari Kadinkes dan dia baru tahu jika saya dokter,….ha2 mungkin karena kulit saya yang mulai hitam jadi dianggap suku laut…ha2….Nasib jadi dokter pulau.
Bahagia dimulai dari hati yang damai, maka sering-seringlah membuat hatimu damai. Wassalamualaikum WR WB
0 komentar:
Posting Komentar