Kali ini saya akan berbagi cerita mengenai Mentengah sebuah dusun yang termasuk wilayah kerja saya, letaknya ±45 menit dari tempat tinggal saya dengan mengarungi lautan gunakan pompong. Wilayah ini istimewa, jika dari segi geografi, posisinya terjauh dari seluruh pulau wilayah kerja saya, namun ada yang lebih istimewa yaitu masyarakatnya. Terdiri dari 32 KK, 98 jiwa 47 jiwa laki-laki dan 51 perempuan hampir 90 % suku laut (komunitas adat terpencil). Mungkin peradaban kurang menyentuh daerah ini hampir 90% masyarakat tidak bisa baca tulis, listrik paling lama menyala 4 jam semalam, akses air bersih 20%, dan 80% tidak memiliki agama.
Tanggal 17 Agustus ini, saya amat meresapi betapa pentinganya sebuah kemerdekaan dan reformasi negeri ini, jika tak merdeka terus sajalah saudara kita sebangsa ini dalam kebodohan dan jika tidak reformasi maka tidak akan ada otonomi yang berarti pergerekan pembangunan hanya berkutat di daerah Jawa dan dikuasai pusat saja. Tanpa memandang sukuisme dan latar belakang kerja, jika kita tarik ke belakang sebelum era reformasi hampir 99,9% menteri RI, Gubernur, Bupati, Pejabat Eselon II dan III, Rektor, dan Kades di seluruh Indonesia kiriman pemerintah pusat dengan suku Jawa bahkan berlatar belakang ABRI, sampai-sampai DPR-RI pun ada fraksi ABRI. Oleh karena itu saya cukup salut dengan kepemimpinan SBY dalam melihat sukuisme yang terjadi di bangsa ini, kini banyak menteri dan pejabat pusat lainnya dari luar Jawa. Ini bukan hanya masalah suku tapi peran seluruh elemen bangsa untuk membuat bangsa ini maju, “siapapun dia asalkan WNI dan mempunyai tekad dan kemampuan membuat bangsa ini maju, kenapa tidak”. Logika sederhana, jika Gubernur atau Bupati/ Walikota seorang putra daerah pastilah ada rasa cinta untuk membangun tanah kelahirannya sendiri. Cukuplah kiranya, karena saya kurang senang membahas isu-isu politik.
Kembali ke Mentengah, berbagi dan bertukaran istri menjadi hal lumrah di dusun ini, bahkan bercinta dilakukan di semak-semak kadang-kadang terjadi di tepian pantai. Mungkin ini namanya deviasi seksual “Exhibitionism” yang kupelajari di stase jiwa dulu. Hal ini menyulitkan petugas sensus tentunya, bulan lalu menjadi istri A lalu bulan ini menjadi istri B. Lalu saya bertanya jika ia mengandung, anak siapakah ia? A atau B..he2. Bahasa menjadi faktor pengahambat dalam menjalankan tugas kesehatan saya, banyak kosak kata yang belum pernah saya dengar seperti “ilang=mati, Apak= apa, Bise: Sakit dll” tapi bahasa tubuh sangat membantu saya dalam memahami itu, jadi perlu teknik khusus dalam promotif, preventif dan edukasi kesehatan di sini.
O ya mengapa saya merujuk pasien emergensi, sering mengantar pasien langsung ke RS, jika tidak seperti itu semua keadaan dianggap biasa saja oleh kelurganya, karena dokternya saja tidak mau mengantarnya. Perlu kesadaran bagi saya bahwa mereka tidak mengeyam pendidikan. Tapi ada hal yang membuat saya sedikit kesal jika merujuk pasien ke RS, lalu petugas RS tidak mengetahui Mentengah, dengan bilang “Mentengah itu dimana?” dan parahnya mereka seenaknya bilang “nanti suruh dokternya kalo bikin surat rujukan rapi-rapi diketik, kaya ga bisa ngetik aja”. Hey…ini bukan masalah rapi tidak rapi tapi ketersediaan komputer dan listrik, jika sekedar mengetik rapi itu hal mudah. Dalam benak saya, “jika tak pernah ke lapangan sebaiknya jangan banyak mencela”. Masalah pendidikan kini mulai teratasi dengan hadirnya sekolah yayasan Kristen yang dengan sukarela mendirikan bangunan di tengah pulau beberapa bulan ini dan mengaji besar guru-gurunya. Semoga langkah ini dapat diikuti seluruh anak bangsa yang peduli akan pendidikan terutama saudaraku tercinta umat Islam sebagai umat terbesar di republik ini, kita bukan tidak mampu tapi kurang sadar dan terorganisir saja.
Saya tutup dengan Gurindam Melayu:
Air mengalir ke lautan
Lautan biru sampai selatan
Jika ada kata tak berkenan
Tolong dimaafkan.
Wassalamualaikum WR WB.
Tanggal 17 Agustus ini, saya amat meresapi betapa pentinganya sebuah kemerdekaan dan reformasi negeri ini, jika tak merdeka terus sajalah saudara kita sebangsa ini dalam kebodohan dan jika tidak reformasi maka tidak akan ada otonomi yang berarti pergerekan pembangunan hanya berkutat di daerah Jawa dan dikuasai pusat saja. Tanpa memandang sukuisme dan latar belakang kerja, jika kita tarik ke belakang sebelum era reformasi hampir 99,9% menteri RI, Gubernur, Bupati, Pejabat Eselon II dan III, Rektor, dan Kades di seluruh Indonesia kiriman pemerintah pusat dengan suku Jawa bahkan berlatar belakang ABRI, sampai-sampai DPR-RI pun ada fraksi ABRI. Oleh karena itu saya cukup salut dengan kepemimpinan SBY dalam melihat sukuisme yang terjadi di bangsa ini, kini banyak menteri dan pejabat pusat lainnya dari luar Jawa. Ini bukan hanya masalah suku tapi peran seluruh elemen bangsa untuk membuat bangsa ini maju, “siapapun dia asalkan WNI dan mempunyai tekad dan kemampuan membuat bangsa ini maju, kenapa tidak”. Logika sederhana, jika Gubernur atau Bupati/ Walikota seorang putra daerah pastilah ada rasa cinta untuk membangun tanah kelahirannya sendiri. Cukuplah kiranya, karena saya kurang senang membahas isu-isu politik.
Kembali ke Mentengah, berbagi dan bertukaran istri menjadi hal lumrah di dusun ini, bahkan bercinta dilakukan di semak-semak kadang-kadang terjadi di tepian pantai. Mungkin ini namanya deviasi seksual “Exhibitionism” yang kupelajari di stase jiwa dulu. Hal ini menyulitkan petugas sensus tentunya, bulan lalu menjadi istri A lalu bulan ini menjadi istri B. Lalu saya bertanya jika ia mengandung, anak siapakah ia? A atau B..he2. Bahasa menjadi faktor pengahambat dalam menjalankan tugas kesehatan saya, banyak kosak kata yang belum pernah saya dengar seperti “ilang=mati, Apak= apa, Bise: Sakit dll” tapi bahasa tubuh sangat membantu saya dalam memahami itu, jadi perlu teknik khusus dalam promotif, preventif dan edukasi kesehatan di sini.
O ya mengapa saya merujuk pasien emergensi, sering mengantar pasien langsung ke RS, jika tidak seperti itu semua keadaan dianggap biasa saja oleh kelurganya, karena dokternya saja tidak mau mengantarnya. Perlu kesadaran bagi saya bahwa mereka tidak mengeyam pendidikan. Tapi ada hal yang membuat saya sedikit kesal jika merujuk pasien ke RS, lalu petugas RS tidak mengetahui Mentengah, dengan bilang “Mentengah itu dimana?” dan parahnya mereka seenaknya bilang “nanti suruh dokternya kalo bikin surat rujukan rapi-rapi diketik, kaya ga bisa ngetik aja”. Hey…ini bukan masalah rapi tidak rapi tapi ketersediaan komputer dan listrik, jika sekedar mengetik rapi itu hal mudah. Dalam benak saya, “jika tak pernah ke lapangan sebaiknya jangan banyak mencela”. Masalah pendidikan kini mulai teratasi dengan hadirnya sekolah yayasan Kristen yang dengan sukarela mendirikan bangunan di tengah pulau beberapa bulan ini dan mengaji besar guru-gurunya. Semoga langkah ini dapat diikuti seluruh anak bangsa yang peduli akan pendidikan terutama saudaraku tercinta umat Islam sebagai umat terbesar di republik ini, kita bukan tidak mampu tapi kurang sadar dan terorganisir saja.
Saya tutup dengan Gurindam Melayu:
Air mengalir ke lautan
Lautan biru sampai selatan
Jika ada kata tak berkenan
Tolong dimaafkan.
Wassalamualaikum WR WB.
0 komentar:
Posting Komentar