Senin, 07 November 2011

PENTINGNYA “KAJIAN” DALAM SISTEM KADERISASI

Oleh : Franz Sinatra Yoga*

Bidang kesehatan mulai mengadopsi konsep advokasi ketika WHO pada tahun 1994 merumuskannya sebagai salah strategi promosi kesehatan. Pada rumusan tersebut terdapat 3 strategi pokok,yaitu : 1). Advocacy, 2). Social support, dan 3). Empowerment. Advokasi bertujuan untuk menciptakan dukungan terhadap hal yang diinginkan atau perubahan dari suatu kebijakan yang telah atau akan dibuat. Prinsipnya, advokasi adalah salah satu cara untuk mencapai suatu visi. Dalam praktiknya, kajian akan menjadi peluru dan tindakan advokasi adalah senjatanya. Sehingga kita tidak dapat memisahkan antara kedua hal tersebut.

Istilah kajian menjadi populer beberapa tahun belakangan dengan adanya sebuah bidang bernama kajian strategis (kastrat). Kajian adalah hasil dari mengkaji, sedangkan mengkaji memiliki arti sebagai kegiatan belajar; mempelajari; memeriksa; menyelidiki; memikirkan (mempertimbangkan);  menguji; menelaah; baik buruk suatu perkara. Kajian yang dihasilkan nantinya berfungsi sebagai bahan advokasi. Di dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (PSDM), istilah advokasi dan kajian mungkin tidak terlalu sering terdengar. Padahal WHO menggunakan advokasi sebagai salah satu cara promosi kesehatan yang juga bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat agar hidupnya menjadi lebih sehat. Tujuan WHO tersebut selaras dengan tujuan PSDM, perubahan perilaku sehingga terbentuk penerus yang lebih baik dari generasi-generasi sebelumnya.

Mengenal suatu bidang berdasarkan nama sering mengerucutkan paham mahasiswa akan organisasi yang sebenarnya. Hal ini merupakan salah satu penyebab ketiadaan “fungsi kajian” dibidang kaderisasi. Apabila disebutkan “bidang pengabdian masyarakat”, maka yang akan dipikirkan adalah bakti sosial. Ketika menyebutkan “kastrat”, barulah advokasi dan kajian timbul. Bila kita berkata “bidang PSDM”, yang paling cepat melintas dipikiran adalah kaderisasi dan latihan kepemimpinan dan manajemen mahasiswa (LKMM).

Sangat disayangkan bila pada kenyataannya eksistensi kaderisasi hanya diintegrasikan dalam LKMM. Hal ini perlahan menutup essensi dari “kaderisasi” itu sendiri. Kenyataannya, banyak institusi menyerahkan pengkaderan lewat LKMM, dan lebih buruknya lagi-melalui LKMM, tanggung jawab kaderisasi diserahkan secara tidak langsung kepada para pembicara. pertanyaannya, apakah hal itu dinamakan sistem kaderisasi?

Berdasarkan teori, kaderisasi adalah upaya mempersiapkan generasi penerus. Salah satu caranya dengan pendidikan. Pendidikan ini memiliki kelemahan berupa hasil yang lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya membutuhkan waktu yang lama. LKMM memang salah satu bentuk pendidikan dalam berorganisasi, tetapi waktu pendidikannya cenderung singkat. Sehingga PSDM nasional ISMKI menyiapkan suatu sistem follow up kader. Apakah follow up ini sudah berjalan efektif? Dan yang terpenting apakah institusi telah menjalankan sistem follow up ini? Apabila institusi menjawab belum. Secara tidak langsung kaderisasi institusi sama dengan LKMM. Sungguh!! Bukan ini kaderisasi organisasi yang kita harapkan.

Dua paragraf diatas merupakan salah bentuk kajian singkat tentang “essensi kaderisasi bidang PSDM”. Masih banyak warna-warni permasalahan kaderisasi, baik di tingkat lokal, wilayah, nasional, bahkan internasional. Dengan mengkaji, teman-teman PSDM dapat mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan dari kaderisasi yang berjalan. Dengan kajian, teman-teman akan memiliki data kualitatif dan data kuantitatif tentang kaderisasi. Karena inti PSDM itu adalah kaderisasi bukan LKMM. Data-data inilah yang akan teman-teman PSDM gunakan dalam mengubah sistem kaderisasi atau melakukan reinforcement (penguatan) fungsi yang telah ada dan menyusun suatu sistem kaderisasi yang problem based (berlandaskan masalah yang ada). Niscaya, perbaikan sistem sehingga kaderisasi akan berjalan secara berkelanjutan, simultan, dan hasilnya insya’Allah signifikan.

Dengan ini, mari kita mendefinisikan ulang bahwa “fungsi kajian” tidaklah dimiliki kastrat saja. Begitupun “fungsi kaderisasi”,tak hanya PSDM yang memilikinya. Penamaan bidang adalah koridor dimana dan apa tujuan bidang tersebut bergerak. Jadi tidak benar bahwa PSDM tidak boleh mengkaji, Yang ada, terdapat perbedaan isu dalam kajian yang dilakukan. Isu yang dikaji kastrat adalah isu kesehatan/ kebijakan yang erat implikasinya dengan kemaslahatan rakyat. Di bidang PSDM, tentu yang dikaji adalah semua hal menyangkut kaderisasi.  Karena itu, seyogyanya semua bidang harus memiliki fungsi kajian ini.

Dengan demikian, bidang yang terdapat diorganisasi akan terus dalam keadaan dinamis. Layaknya cerita ikan salmon berikut ini:
Suatu ketika para nelayan Jepang mencari ikan di tengah lautan luas. Lautan tersebut cukup jauh dari daratan. Mereka menangkap ikan – ikan salmon untuk dibawa ke daratan. Orang – orang jepang tentu menginginkan ikan yang segar, tapi ikan yang dibawa para nelayan tersebut telah mati ketika sampai di daratan sehingga tidak segar lagi. Lalu nelayan – nelayan itu berpikir bagaimana caranya agar ikan – ikan itu tidak mati ketika sampai di daratan.

“Ah. . . mungkin kita harus letakkan di bak yang berisi air dalam kapal kita.” Pikir mereka.

Hal itu pun dicoba, tapi tetap saja ikan – ikan salmon itu tetap mati ketika sampai di daratan akibat perjalanan yang memakan waktu yang lama ini.

“Bagaimana kalau diberi es?.”

Di dalam bak air tersebut diberi es, namun tetap saja ikan salmon itu mati dan tak segar lagi. Akhirnya muncullah sebuah ide yang kedengarannnya tak masuk akal dari salah seorang nelayan. Ide tersebut pun sebenarnya hanya iseng – iseng saja untuk dicoba. Nelayan itu mencoba untuk memasukkan anak ikan hiu kecil ke dalam bak air yang berisi ikan – ikan salmon hasil tangkapan mereka. Dan hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata ikan – ikan salmon itu tetap hidup setelah melalui perjalanan panjang menuju daratan.

Sebenarnya apa yang membuat ikan – ikan salmon itu bertahan hidup. Ternyata di dalam bak itu ikan – ikan salmon tersebut dikejar – kejar oleh si anak ikan hiu. Mereka terus dikejar – kejar tanpa henti. Untuk bertahan hidup tentu ikan – ikan salmon itu berenang dengan gesit untuk menghindari dari anak ikan hiu tersebut. Mereka sekuat tenaga berjuang untuk mempertahankan hidup mereka sampai akhirnya ketika sampai di daratan mereka masih bisa bertahan hidup.

Kisah diatas mengajarkan kita sebuah makna bahwa pergerakan ideal kadangkala tercipta dari permasalahan. Anak ikan hiu adalah masalah bagi ikan-ikan salmon. Sebagai upaya untuk mengatasi masalah ini, maka ikan-ikan salmon bergerak secepat mungkin dan secara terus menerus menghindari terkaman anak ikan hiu.  


Setiap permasalahan akan membawa kita ke jenjang yang lebih tinggi jika berhasil kita hadapi dengan baik. Karena setiap permasalahan adalah institusi pendidikan informal untuk kita agar dapat bersikap lebih dewasa dan menjadi seseorang yang lebih matang, Masalah memang tidak menyenangkan. Layaknya hiu kecil bagi ikan-ikan kecil tersebut. Namun, jika kita tidak berputus asa dalam menghadapinya niscaya masalah akan membuat nilai diri kita justru menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bila kondisi organisasi dapat seperti ikan salmon, maka organisasi tidak akan mati, bahkan hidup dengan sehat. Kajianlah yang mengidentifikasi ikan hiunya (permasalahan) dan dengan Kajian pulalah kita dapat mengatasi ikan hiu tersebut.

*Opini ini dimuat dalam buletin PSDM ISMKI Wilayah 1 th. 2011
* Ketua kajian strategis nasional (kastratnas)
National coordinator for Strategic Issues Analysis Dept. 2011

Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI)
Indonesian Medical Student Executive Boards' Association

mobile phone: 085769382203
facebook: franz sinatra yoga
blog: www.franzsinatrayoga.blogspot.com
Institusi: FK Unsri 2008

 (Habis turun pesawat* dalam perjalanan menuju lomba KTI tk. Nas, SCIENTIFIC FAIR FK UNDIP)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by phii | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code