Rabu, 23 November 2011

Perjalanan Hidup--melebihi pelajaran kuliah--ini dunia nyata PTT Dokter. (PTT part 1)

PERJALANAN DOKTER PTT Dr.Dobi* Pertamakali saya ditawari PTT oleh Teman Sejawat (TS) di Kelurahan/ Desa Metunda Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga Propinsi Kepulaun Riau. "Jika bersedia, tanyanya" besok langsung berangkat ke Tanjung Pinang (Ibukota Prop. Kepulaun Riau (Kepri) )....Wah, sontak saja saya binggung, lalu saya "searching picture" ternyata gambarnya pun tak ada. Hal ini membuat saya semakin binggung. Saya meminta saran pada keluarga dan beragam jawabannya ada yang pro dan ada pula yang kontra. Dalam kebingungan yang mendalam, saya putuskan untuk "Shalat Istikhrah". Tak menunggu lama dalam tidur usai Shalat tersebut , saya bermimpi sumpah dokter yang saya ucapkan terlihat dan terdengar begitu jelas dan berulang-ulang, yang bunyinya "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusian"...Ah..tanpa pikir panjang lagi pada pukul 02.00 dini hari, saya berkemas untuk berangkat pagi harinya.

Saya berangakat bersama sobat saya SPN, kebetulan ia juga diterima atas informasi dari saya. Namun dia mendapatkan penempatan di Pulau Buru Kab Karimun. Dengan membawa baju, kotak alat-alat kesehatan, sedikit buku, laptop yang masuk dalam satu koper sedang dan dana seadanya saya pun berangkat. Hampir tiba di Kepri, dari jendela pesawat terlihat hamparan laut begitu luas mengelilingi Tanjung pinang. Dalam benak saya "Wah ini namanya kepulauan"...Oh ya, saya lupa, saat di ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta, saya mencoba mencari informasi mengenai penempatan saya. Jawabanya seragam tempatnya sepi dan kental aroma mistis. Ragu-ragu dan cemas menambah pikiran saya. Singkat cerita, akhirnya saya pergi ke Kab Lingga menggunakan kapal cepat (masyarakat setempat menyebutnya "feri") sekitar 4 jam membelah lautan saya sampai, tepatnya di pulau Dabo Singkep, Kota tua peninggalan PT. Timah, kota paling besar di Kabupaten ini. Kab Lingga merupakan Kab baru pemekaran jadi banyak sarana dan prasarana yang belum terbangun. Suasana dan keindahan pantainya hampir sama seperti kampung halamanku Kalianda Lampung Selatan. Di sini saya bertemu Kadinkes luar biasa baiknya yaitu dr.Luti. Para dokter PTT boleh tinggal dirumahnya, memakai mobilnya, bahkan ditraktir makan oleh beliau selama beberapa hari. Tak lupa kami di ajak jalan-jalan menikmati keindahan Kab ini yang sering disebut "Bunda Tanah Melayu". Alhasil hanya beberapa hari saya sudah hapal lokasi dan wisata kuliner kota kecil ini. Akhirnya kisah sebenarnya terjadi. Saya menuju Desa Metunda ..Oh ya, saya ingin menjelasakan kenapa dokter PTT disini terjun ke desa, karena konsep dokter keluarga yang lebih menfokuskan tindakan promotif dan preventif dibandingkan kuratif secara sederhana bahwa dokter berkonsep sehat bukan hanya menunggu pasien sakit. Dengan menaiki "feri" sekitar 35 menit menuju pelabuhan pulon saya berangakat. Kemudian saya terkejut ketika saya disuruh meloncat dari feri menuju pompong (di Palembang : Ketek) di tengah laut dengan alasan kapal tak bisa merapat karena laut surut. Ha2...Saya loncat dan mendarat sambil bergoyang tak seimbang karena guncangan ombak. Namun saya tidak bisa langsung melanjutkan perjalanan karena laut sedang surut. Dalam benak saya, "tempat ini terisolir karena jalur laut tergantung pada pasang surut dan tak ada jalur darat. "Wah bagaimana jika terjadi kasus emergensi sedangkan laut sedang surut".

Setelah menunggu sekitar 2 jam saya pun melanjutkan perjalan, sekitar 20 menit saya pun tiba. Disambut hangat oleh kepala desa dan staf, tokoh masyarakat, dan masyarakat membuat kecemasan sedikit berkurang. Lalu saya dibawa ke balai desa untuk perkenalan dan sayapun mendengar panggilan menggunakan toa "masyarakat segera kumpul dibalai desa, karena dokter kita telah tiba". Ha2...Wajar saja ekspektasi masyarakat begitu besar karena inilah kali pertama dokter masuk di kampungnya. Saya memulai perkenalan dengan sedikit humor agar masyarakat tidak terlalu kaku. O..ya, disini saya harus membiasakan menyebut "saya" bukan "aku"...karena bagi masyarakat melayu, "aku" itu tak berbahasa (tak sopan). Sebelumnya saya ingin menjelaskan wilayah kerja saya terbagi menjadi 3 dusun. Dusun 1 metunda dimana tempat saya tinggal dan mayoritas masyarakat melayu dengan 113 Kepala keluarga (KK), Dusun 2 mayoritas tionghoa dengan 39 KK, dan Dusun 3 mayoritas suku laut (masyarakat terbelakang yang hampir menghabiskan hidupnya di laut) dengan 98 KK. Ketiga dusun ini terpisah oleh laut menjadi 5 pulau dengan waktu tempuh rata-rata sekitar 30 menit dari tempat tinggal saya dengan menggunakan pompong. Sambutan masyarakat begitu luar biasa seperti syukuran bahkan yang ekstrim pembakaran kemenyan oleh seorang pemimpin spiritual menandakan bahwa saya telah diterima dan berhak mewariskan kemampuan mengobati yang selama ini masyarakat mengandalkan dirinya....Ah hal Syirik tentunya.

Mengapa tempat ini sangat terpencil karena tak ada sinyal telepon genggam, jadi informasi dari dan untuk saya selalu terlambat. Terkadang saya harus pergi ke pulau tertentu dimana terdapat sinyal di situ. Wah melelahkan dan membosankan, tapi semuanya terbalas dengan keramahtamahan masyrakatnya. Kebetulan saat saya tiba sedang musim durian, jadi jika saya hendak makan durian tinggal jalan saja tanpa membawa apa-apa ke pondok kebun durian warga, pastilah bersaut-sautan suara warga “Pak Dok oy Pak Dok, Singgalah sini sikit, ade durian lemak ni (Bahasa Melayu/ Bahasa Yang dipakai Upin-Ipin)”. Tanpa basa-basi hajar sajalah durian daun, buluh, emas dll..ha2, Saya sangat lahap makan durian tapi di sinilah kali pertama saya bosan makan durian. Listrik di daerah ini hanya hidup dari pukul 18.00-24.00 jadi aktifitas elektronik tidak dapat dilakukan selain waktu itu. Namun jika benar-benar butuh listrik untuk sekedar mengetik melalui notebook, saya bisa ke kantor desa karena disana ada panel listrik tenaga surya. Di desa ini diliewati sungai yang berasal dari air terjun Gunung Daek yang tepat di belakang desa ini. Namun pemanfaatan sebagai sumber air minum dan MCK oleh sebagian masyarakat menjadi tantangan terberat bagi saya untuk mengubah pola hidup masyarakat itu. Satu hal lagi menjadi masalah dasar masyarakat yang hidup di tepi pantai adalah kebiasan BAB dan buang sampah langsung ke laut bahkan samapi sekarang saya belum saya dapatkan jawaban tepat untuk merancang bentuk septik tank massal dan sistem pembuangan limbah rumah tangga masyarakat tepi pantai. Berbicara mengenai perilaku hidup masyarakat yang tidak tepat seperti merokok sejak usia dini baik laki-laki maupun perempuan terutama suku laut membuat PPOK (penyakit paru obstruktif kronis) menjadi kasus terbanyak yang saya temui saat ini, selain darah tinggi, anemia dan hypercholesterol karena tingginya asupan garam dan rendahnya konsumsi sayur, buah dan daging. Ya..ya..saya dapat memakluminya karena sayur buah dan hewan ternak amatlah langka di pulau seperti ini. Jika melihat acuan Depkes Kabupaten Lingga merupakan daerah endemik malaria namun saat ini, saya baru menemukan satu kasus. Itupun konsul dari seorang bidan yang berbeda pulau, sekitar 30 menit saya mengarungi laut lepas pukul 23.30 WIB. Satu pengalaman klinis malaria dari Kadinkes Lingga yang dibagikan untuk kami ternyata sangat membantu saya mendiagnosis pasien ini selain demam yang khas yaitu lidah yang lebih kotor seperti Thypoid tongue tapi tanpa hiperemis tepinya dan tremor serta lidah dan tenggorokan terasa pahit. Hal yang membuat saya cukup prihatin adalah kesadaran masyrakat untuk berobat dan persalinan di tolong tenaga kesehatan masih cukup minim dikarenakan lokasi geografis yang sulit, dalam bahasa sederhana “Lebih tinggi biaya transportasi menuju sarana kesehatan dibandingkan tindakan kesehatannya”. Jadi ketika saya datang ke salah satu pulau hampir dipastikan masyarakat ramai menyerbu oleh karena itu saya tak pernah lupa membawa tas punggung berisi alat kesehatn (alkes) dan obat-obatan. Aspek pendidikan yang rendah seperti tingginya buta huruf di daerah ini membuat saya geram, karena guru telah diberikan fasilitas rumah dan tunjangan daerah terpencil cukup tinggi 30 juta/tahun belum ditambah gaji pokok, insentif prov dan kab namun tetap saja malas mengajar karena beralasan ketidaknyamamana tempat dengan datang awal bulan untuk sekedar ambil gaji. Mungkin mereka lupa janji pegawai negeri “Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah INA”. Karena rasa geram itu saya pun mendaftar sebagai guru matematka SLTP satu atap.

Hantaman gelombang dan teriknya matahari di tengah laut menjadi hal biasa dalam perjalanan. Saya pernah dihantam gelombang akibat angin selatan jika saya gambarkan seperti menaiki permainan kora-kora di laut lepas namun sedikit ditambah gerakan ke kanan-kiri hingga 60o. Anehnya rasa takut itu tak ada, saya yakin saja dengan ALLAH SWT sambil memikirkan inilah rasanya nenek moyangku seorang pelaut. Jika beruntung saya melihat segerombolan lumba-lumba menari di samping pompong. Teriknya matahari teratasi oleh jaket coklat yang tidak ingin saya bawa namun ibuku memaksa dan menyelipkan ke dalam koper seeolah tahu keadaan di sana. Jalan-jalan masuk hutan, mandi sungai mengingatkan pada masa kecil yang indah. Jadi Bagi kamu seorang dokter yang hobi olah raga ekstrim dan berpetualang datanglah kesini!!!. Sedikit informasi untuk adik tingkat TBMS (tim bantuan medis sriwiya) mungkin selain latihan fisik panjat memanjat, perlu ditambah latihan mental naik pompong di tengah laut. “Ha2..kira-kira sanggup ga ya?”. Kali ini saya akan berbagi kisah lucu, karena tingginya angka PPOK, saya selalu sampaikan lelucon “Beruntunglah orang merokok karena tidak terserang bungkuk” sontak saja semua orang tersenyum, lalu saya sambung “Karena orang merokok belum bungkuk sudah meninggal” mereka terdiam lalu mereka terbahak sambil bicara “Dokter bisa aja”. Kisah nyata yang dahulu saya pikir dongeng bahwa dokter mendapat imbalan durian, ikan. Kepiting, udang dll. Menjadi berkesan bagi saya. Satu hal yang menggelitik mengenai status saya yang masih muda dan bujangan. Ada saja masyarakat bilang “dokternye mude sangat lah” lalu saya bilang jika saya tua mungkin saya tidak mau ke daerah terpencil seperti ini. Yang jelas muda bukan berarti bisa dipandang sebelah mata. Namun terkadang penghormatan yang tidak perlu seperti selalu duduk di depan saat rapat di balai desa karena bagi saya kontribusi dan ide lebih baik dibandingkan sekedar posisi. Status bujangan sering dimainkan warga setempat seperti “dok masih lajang ye, saye de anak gadis, mau tak?”. Bahkan yang lebih ekstrim ketika saya berada di dusun pulon mayoritas tionghoa, ketika kepala dusun berbicara “dokter masih bujang ya, sedapnya dok di sini banyak amoy dan janda kembang”….saya menjawab dengan ketawa dan bilang saya sudah ada yang punya (yang jelas punya ALLAH SWT sebagai mahlukNYA).

Satu hal dramatis yang baru saja terjadi, ketika saya baru saja tiba pukul 19.30 dari rapat koordinasi di puskesmas induk tiap tanggal 25, letaknya kurang lebih dua jam mengarungi laut lepas menggunakan “speedboat”. Ketika saya baru saja tidur pukul 23.30 saya di panggil oleh seorang ibu paru baya, lalu mengatakan “dokter tolong liat cucu saye dah 2 hari sakit penat (lemah)” segera saya ganti baju dan bawa alkes dan sedikit obat-obatan. Setelah saya tiba di rumah panggung miliknya dan melihat seorang anak tergolek lemas, lalu dalam benak saya “wah kacau ni, anak ni pasti dehidrasi berat”. Anamnesis singkat ternyata diare dan muntah profuse sudah 2 hari. Begegas saya periksa semua tanda dehidrasi dari mata hingga ke turgor semua positif. Lalu saya berlari ke pustu mencari abocath kecil ternyata tidak ada, dalam benak saya “jika pakai abocath besar tak sesuai dengan bayi ditambah pembuluh darahnya yang mulai kolaps, pasti payah masuk venanya”. Kemudian saya berbicara ke keluarganya “berkemas sekarang, langsung kita ke RS”. Saya berikan oralit buat dan masukkan dalam dot, paksa untuk minum selama perjalanan. Saya tidak mau kasus berulang, seminggu sebelum saya di tempatkan disini satu orang bayi meninggal karena dehidrasi akibat diare. Namun dalam perjalanan menuju speedboat desa, sang ibu pingsan tentunya menambah riuhnya suasana malam. Setelah semua keadaan teratasi kami berangakat menuju pelabuah buton RS Lapangan Daek. Satu setengah jam menyusuri laut lepas tengah malam. Anehnya rasa takut tak ada, karena saya melihat nelayan pemberani dengan sampan kecil memancing di malam hari. Tibalah saya di Daek tepatnya Pelabuhan Tanjung Buton, saya terkejut karena ini kali pertama saya kesini lalu disambut dengan lampu padam yang teratur sejak pukul 23.00, Oh ya mengapa kabupaten ini krisis listrik karena kondisi geografis pulau-pulau yang terpisah membuat PLN sulit membangun infrastruktur listrik. Kebanyakan daerah disini memakai diesel desa dengan kapasitas listrik besar, tenaganya berasal dari solar swadaya masyarakat. Setelah menunggu 30 menit, ambulan pun tiba. Sampai di RS tindakan rehidrasi dilakukan diawali dengan 18 tusukan perawat untuk memasang jarum infus, sulit ternyata!. Ada hal yang mebuat saya geram, para perawat bilang “lucunya anak ni menangis kecil karena dipasang infus tanpa mengeluarkan air mata”. Dalam benak saya “sial ni orang, ga tau tanda dehidrasi apa!”. Akhirnya infus pun terpasang, namun perdebatan terjadi dengan dokter jaga karena cairan rehidrasi yang dipakai adalah D5, sontak saya terkejut karena rehidrasi terapi C menggunakan RL. Saya bilang “Maaf dok, kok pake D5 bukannya cairan tu distribusi cepat ke intrasel sedangkan orang dehidrasi kekurangan cairan ekstrasel tepatnya intravaskuslar, pake RL lebih bagus kayanya”. Dokter wanita itupun tampak bingung, karena saya tidak mau meledak ditambah badan terasa lelah saya pun keluar dari ruang UGD. Tapi Alhamdullilah semua berjalan baik anak itu sudah bisa tersenyum, mau makan dan minum, serta tanda dehidrasipun sudah hilang pada pagi harinya. Ada kebahagian dan kepuasan yang sulit untuk kuucapkan saat lihat ia tersenyum. Inilah sedikit kisah yang bisa saya bagi Semoga tidak ada kalimat yang meninggi karena saya juga manusia lemah dengan segala kekuranganya Saya berharap bisa menjadi inspirasi.

Saya tutup dengan gurindam melayu:
Burung camar terbang tinggi
Tingginya terbang melintas awan

Cerita ini hanya berbagi
Salah dan khilaf mohon dimaafkan.
*angkatan 2005 FK Unsri. Ketua Dept. Internal BEM FK 2007-2008. Pengurus Harian Wilayah ISMKI Wil 1 pada zaman beliau.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Halo dr. Franz, tadi saya iseng-iseng googling dengan keyword dokter PTT di Kepri dan tulisan anda muncul. Tulisan anda membuat saya cekikikan sendiri, epic! Haha. Saya bukan dokter ataupun calon dokter, hanya berkampung halaman di Kepri, di Tanjungpinang lebih tepatnya. Tulisan anda mengingatkan saya dengan kampung halaman saya, itu saja. Well, keep blogging ya dok.

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by phii | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Hostgator Coupon Code