1. REGRESI, TEMPER TANTRUM DAN SIKAP MUTISTIK
Mekanisme pertahanan diri adalah cara yang ditempuh alam bawah sadar untuk melindungi ego dari kecemasan.
Ada dua ciri umum yaitu:
a. Mereka menyangkal, memalsukan dan mendistorsikan kenyataan.
b. Mereka bekerja secara tidak sadar sehingga kadang orangnya tidak mengetahui yang sedang terjadi.
Macamnya:
· REPRESI: Menekan kemunculan dorongan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima ego ke alam bawah sadar. Biasanya berhubungan dengan suatu objek atau pengalaman yang menimbulkan ketidaknyamanan. Secara tidak sadar melupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk diingat.
· PROYEKSI: Menganggap orang lain memiliki perasaan terhadap dirinya yang sebenarnya merepresentasikan dari perasaan sesungguhnya yang dia miliki terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya membenci dia”, diubah menjadi “Dia membenci saya”.
· REAKSI FORMASI: Menganggap memiliki perasaan terhadap orang lain yang sebaliknya dari perasaan dirinya terhadap orang tersebut. Misalnya untuk mengatakan “Saya suka dia” merubahnya menjadi “Saya benci dia”.
· RASIONALISASI: Mencoba mengungkapkan alasan rasional yang dapat diterima secara sosial dan menjadi percaya bahwa suatu kondisi yang bertentangan dengan apa yang diinginkan sesungguhnya adalah hal yang memang diinginkannya. Misalnya karena tidak berhasil mendapatkan tiket nonton sepakbola, lalu mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak tertarik untuk pergi.
· REGRESI : Kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal. Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang mengalami fiksasi.
· FIKSASI: Berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap tahap berikutnya penuh kecemasan. Misalnya anak yang sangat tergantung pada orang lain, kecemasan menghambat untuk mandiri.
Salah satu bentuk pertahanan diri atau ego adalah regresi yaitu kembali kepada tahap perkembangan yang lebih awal. Misalnya anak yang takut masuk sekolah di hari pertama bisa melakukan perilaku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, berpegangan pada guru atau duduk di pojok kelas. Regresi biasanya akan kembali pada tahap perkembangan yang mengalami fiksasi yaitu berhenti pada satu tahap perkembangan karena menganggap tahap berikutnya penuh kecemasan.
Temper tantrum adalah ledakan kemarahan yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa terencana. dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Pada anak-anak, ini bukan hanya untuk mencari perhatian dari orang dewasa saja.
Temperamental tantrum terjadi ketika tingkat frustasi anak mencapai tahap yang sangat tinggi, dan anak menjadi sangat tidak terkontrol, sangat emosional. Ketika mengalami tantrum, anak-anak cenderung melampiaskan segala bentuk kemarahannya. Baik itu menangis keras-keras, berteriak, menjerit-jerit, memukul, menggigit, mencubit, dsb. Temper tantrum biasanya terjadi pada anak usia 1-4 tahun. Meski tidak menutup kemungkinan anak-anak yang lebih tua, bahkan orang dewasa pun pernah mengalami ledakan kemarahan ini. Temper tantrum biasa terjadi karena beberapa hal pemicu antara lain:
a. Frustrasi. Anak-anak dapat mengalami frustasi misalnya, anak-anak akan menjadi cepat marah manakala mereka tidak bisa mencapai sesuatu yang sangat mereka inginkan. Dalam artian, mereka gagal. Kegagalan memicu rasa frustrasi, dan akhirnya kemarahan itupun meledak.
b. Lelah. Anak-anak yang kelelahan, akan menjadi mudah marah. Aktivitasnya yang padat dan sedikit waktu bermain akan membuat anak-anak cepat marah dan emosi.
c. Orangtua terlalu mengekang. Sikap orangtua yang terlalu banyak mendikte dan mengekang anak, juga dapat berpengaruh bagi emosinya. Anak-anak yang merasa jenuh dengan kekangan orangtuanya, suatu saat akan mencapai titik puncak kejenuhan. Dan marah-marah adalah salah satu bentuk ledakan tersebut.
d. Sifat dasar anak yang emosional. Beberapa anak mewarisi sifat dasar emosional dari orangtuanya. Mereka ini cenderung tidak sabaran, gampang marah meski karena hal-hal kecil.
e. Keinginan tak dipenuhi. Salah satu kesalahan yang sering kali dilakukan orangtua adalah mereka begitu mudahnya membujuk anak-anak dengan iming-iming. Menangis sedikit, anak dibujuk dengan es krim atau mainan. Akhirnya ini akan menjadi kebiasaan, dan anak-anak mengenali pola ini. Suatu ketika, ia memiliki keinginan akan sesuatu, ia akan menangis dan mengamuk jika keinginan tersebut tidak segera dipenuhi oleh orangtuanya.
Ada 3 jenis tantrum, yaitu sebagai berikut:
1. Manipulative Tantrum
Manipulative Tantrum terjadi ketika seorang anak tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Perilaku ini akan berhenti saat keinginannya dituruti.
2. Verbal Frustration Tantrum
Tantrum jenis ini terjadi ketika anak tahu apa yang ia inginkan tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan keinginannya secara jelas. Pada kejadian ini anak akan mengalami frustasi. Tantrum jenis ini akan menghilang sejalan dengan peningkatan kemampuan komunikasi anak, dimana anak semakin mampu untuk menjelaskan kesulitan yang dialaminya.
3. Tempramental Tantrum
Tempramental tantrum terjadi ketika tingkat frustasi anak mencapai tahap yang sangat tinggi, dan anak menjadi sangat tidak terkontrol, sangat emosional. Anak akan merasa sangat lelah dan sangat kecewa. Pada tantrum jenis ini, anak sulit untuk berkonsentrasi dan mendapatkan kontrol terhadap dirinya sendiri.
Terjadinya krisis psikologi pada remaja dapat timbul bila pada tiap tahap-tahap perkembangan mental terdapat konflik yang tidak terselesaikan dan terus mengiringi sampai ke suatu titik jenuh dan pada akhirnya konflik tersebut muncul dalam bentuk mekanisme pertahanan regresi dan temper tantrum. Anak yang dibesarkan tanpa sosok ayah dapat saja berkembang secara normal, contoh nyatanya adalah Nabi Muahammad SAW. beliau dibesarkan tanpa sosok ayah. akan teteapi beliau dapat menjadi sosok manusia terbaik yang pernah ada di dunia ini, mungkin beliau mendapatkan figur ayah dari anggota keluarga lain. Yang menjadi masalah apabila seseorang merasa belum cukup dalam mendapatkan figur ayah. sehingga mempertanyakan keberadaan ayah biologisnya, walaupun ayah biologis tersebut belum tentu sesuai dengan figur ayah yang diharapkan, hal ini menjadi suatu perasaan terpendam dan merupakan suatu konflik. Pada saat muncul hal pemicu, maka terjadilah ledakan emosi (temper tantrum) dan sikap pertahanan seperti regresi serta mutisme.
2. PERKEMBANGAN MENTAL REMAJA
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja
A. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Umur 4 – 6 tahun dianggap sebagai titik awal proses identifikasi diri menurut jenis kelamin, peranan ibu dan ayah atau orang –tua pengganti ( nenek, kakek dan orang dewasa lainnya ) sangat besar. Peran sebagai “ wanita “ dan “ Prias” harus jelas. Dalam mendidik, ibu dan ayah harus bersikap konsisten , terbuka, bijaksana, bersahabat, ramah, tegas, dan dapat lancar, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah. Masa remaja merupakan pengembangan identitas diri, dimana remaja berusaha mengenal diri sendiri, ingin mengetahui bagaimana orang lain menilainya, dan mencoba menyesuaikan diri dengan harapan orang lain.
1. Pola asuh keluarga
Proses sosialisasi sangat dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga.
· Sikap orang-tua yang otoriter, mau menang sendiri, selalu mengatur, semua perintah harus diikuti tanpa memperhatikan pendapat dan kemauan anak akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian remaja. Ia akan berkembang menjadi penakut, tidak memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga, sehingga proses sosialisasi menjadi terganggu. Sikap orang-tua yang “permisif “ (serba boleh, tidak pernah melarang, selalu menuruti kehendak anak, selalu memanjakan) akan menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan social diluar keluarga.Sikap orang-tua yang selalu membandingkan anak-anaknya, akan menumbuhkan persaingan tidak sehat dan saling curiga antar saudara. Sikap orang-tua yang berambisi dan selalu menuntut anaknya, akan berakibat anak cenderung mengalami frustrasi, takut gagal, dan merasa tidak berharga. Orang-tua yang “ demokratis “, akan mengakui keberadaan anak sebagai individu dan makluk sosial serta mau mendengarkan dan menghargai pendapat anak. Kondisi ini akan menimbulkan keseimbangan antara perkembangan individu dan sosial, sehingga anak akan memperoleh suatu kondisi mental yang sehat.
2. Kondisi keluarga
Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya, Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “ melarikan diri “ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
3. Pendidikan moral dalam keluarga
Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai–nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak di rumah . Pengertian budi pekerti mengandung nilai-nilai keagamaan, kesusilaan,dan kepribadian.
B. Lingkungan Sekolah
Pengaruh yang juga cukup kuat dalam perkembangan remaja adalah lingkungan sekolah. Umumnya orang-tua menaruh harapan yang besar pada pendidikan di sekolah, oleh karena itu dalam memilih sekolah orang–tua perlu mempertimbangkan hal sebagai berikut :
1) Susunan Sekolah
a. Kedisiplinan
b. Kebiasaan belajar
c. Pengendalian diri
2) Bimbingan Guru
C. Lingkungan Teman Sebaya
Remaja lebih banyak berada diluar rumah dengan teman sebaya, Jadi dapat dimengerti bahwa sikap, Pembicaraan, minat, Penampilan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga misalnya, jika remaja mengenakan model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk dapat diterima oleh kelompok menjadi lebih besar Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol. rokok atau zat adiktif lainnya, maka remaja cenderung mengikuti tanpa mempedulikan akibatnya.
Didalam kelompok sebaya, remaja berusaha menemukan dirinya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa mempedulikan sanksi–sanksi dunia dewasa. K elompok sebaya memberikan lingkungan yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya, Disinilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa remaja, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, akan lebih berbahaya apabila kelompok sebaya ini cenderung tertutup (closed group), dimana setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompok nya dan harus mengikuti nilai yang dikembangkan oleh pimpinan kelompok, sikap, pikiran, perilaku, dan gaya hidupnya merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.
D. Lingkungan Masyarakat
Dalam kehidupanya, manusia dibimbing oleh nilai-nilai yang merupakan pandangan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai yang baik harus diikuti, dianut, sedangkan yang buruk harus dihindari, sesuai dengan aspek rohaniah dan jasmaniah yang ada pada manusia, maka manusia dibimbing oleh pasangan nilai materi dan nonmateri.
Apabila manusia hendak hidup secara damai di masyarakat, maka sebaiknya kedua nilai yang merupakan pasangan tadi diserasikan akan tetapi kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa nilai materi mendapat tekanan lebih besar daripada nilai non-materi atau spiritual. hal ini terbukti dari kenyataan bahwa sebagai tolok ukur peranan seseorang dalam masyarakat adalah kebendaan dan kedudukan.
Lingkungan masyarakat terdiri dari :
a. Sosial Budaya
b. Media Massa
TEORI PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON
Erikson adalah seorang guru seni, yang menekuni psikoanalisis khusus remaja dan anak. Erikson Membagi tahap psikosial menjadi 8 tahap dimana masing-masing tahap ditandai dengan suatu tantangan dan dan krisis yang jika tidak dapat ditangani maka akan menghambat perkembangan selanjutnya. Erikson menekankan pada masa adolesen karena merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson:
1. Infancy (0 –1)
- Trust vs Mistrust (kepercayaan dasar vs kecurigaan dasar)
- Mengembangkan sejumlah perasaan kepercayaan atau kecurigaan terhadap kebutuhan dasar seperti pengasuhan, kehangatan, kebersihan dan kontak fisik.
- Ibu yang bersifat kelembutan melalui pandangannya, belaiannya, senyumannya, sentuhannya, cara memanggilnya memberikan perasaan diakui pada bayi, yang akan menimbulkan kepercayaan dasar.
- Ketiadaan pengakuan pada bayi dapat menyebabkan keterasingan, perasaan dipisahkan dan dibuang, menimbulkan kecurigaan dasar.
2. Early childhood (1 – 3)
- Autonomy vs shame, doubt (otonomi vs perasaan malu, ragu-ragu)
- Anak belajar apa yang diharapkan dari dirinya, kewajiban dan haknya serta pembatasan pada dirinya.
- Tahap untuk berkembangnya pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang. Anak harus didorong untuk mengalami situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas.
- Penanaman rasa malu secara berlebihan akan menyebabkan anak tidak memiliki rasa malu atau mencoba melarikan diri dari hal tersebut dengan diam-diam, tidak suka berterus terang dan serba bertindak dengan diam-diam, akhirnya menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang menetap.
3. Play age (3 – 6)
- Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan)
- Masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab, anak mempunyai tujuan dalam aktifitasnya.
- Kegiatan utamanya adalah bermain. Tujuan berkembang dalam kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha dan kegagalannya.
- Bahayanya adalah muncul rasa bersalah pada diri anak karena anak terlalu bergairah dalam mencapai tujuannya termasuk menggunakan cara yang agresif dan manipulatif.
4. School age (7 – 11)
- Industry vs inferiority (kerajinan vs inferioritas)
- Masa anak sekolah, mengembangkan kemampuan belajar, rasa ingin tahu dan sekaligus mengembangkan perasaan rendah diri jika gagal (atau merasa gagal) menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan guru.
5. Adolescence (12 – 20)/ sesuai kasus
- Identity vs identity confusion (identitas vs kekacauan identitas)
- Masa dimana remaja mulai merasakan suatu perasaan identitasnya sendiri, merasa unik, siap untuk berperan dalam masyarakat. Mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri seperti kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan yang dikejar di masa datang, kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri.
- Merupakan masa peralihan dari anak ke dewasa. Menjadikan kadang remaja berada pada kondisi kekacauan identitas. Mereka menjadi hampa, terisolasi, cemas dan bimbang. Mereka menjadi kacau, tingkah lakunya tidak konsisten. Ingin masuk dunia kehidupan dewasa tapi masyarakat menganggap belum mampu dan mereka merasa sudah bukan anak-anak lagi. Terjadi suatu kekacauan.
- Jika tidak terselesaikan anak akan berada pada kondisi krisis identitas yang akan mengembangkan identitas negatif pada dirinya yaitu dirinya hanya memiliki sifat yang potensial buruk atau tidak berharga.
6. Young adulthood (20 – 30)
- Intimacy vs isolation (keintiman vs isolasi)
- Siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain, mendambakan hubungan akrab dengan lawan jenis dalam percintaan. Mengembangkan persaudaran,menyiapkan daya untuk membina komitmen dan siap berkorban.
- Bahayanya adalah muncul isolasi, kecenderungan untuk menghindari hubungan karena tidak mau terlibat atau melibatkan diri dalam keintiman.
7. Adulthood (30 – 65)
- Generativity vs stagnation (generativitas vs stagnasi)
- Perhatian terhadap apa yang dihasilkan – keturunan, produk, ide, dsb – serta penetapan dan pembentukan pedoman untuk generasi mendatang.
- Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi.
8. Mature age (> 65)
- Integrity vs despair (integritas vs putus asa)
- Masa dimana individu melihat kembali tentang hasil yang dicapai aik ide, produk dan suatu refleksi setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya.
- Gaya hidupnya dipertahankan untuk menghindari dari ancaman.
- Lawannya adalah kondisi putus asa,merasa hiduop tidak berguna dan pasrah pada keadaan menunggu ajal.
Setiap tahap perkembangan adalah penting. karena tahap yang dijalaniakan mempengaruhi tahap selanjutnya. memang terdapat kesulitan dalam menempuh suatu tahapan, akan tetapi selalu ada alasan yang baik untuk bisa melaluinya. tentu dukungan berbagai pohak sangat berperan. bila terjadi kegagalan maka akan mempengaruhi perkembangan psikososial, sebagai contoh kegagalan pada tahap satu akan menyebabkan skizofrenia, kegagalan pada tahap dua cenderung menyebabkan obsesif konvulsif, dan kegagalan pada tahap lima akan menyebabkan gangguan kepribadian.
3. PERAN ORANG TUA (PERAN AYAH)
Menurut Atwater (1999), peran merupakan perilaku yang diharapkan sehubungan dengan posisi atau status terberi di masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Crow (1986) bahwa:
"Role is the behavior that is expected of us because of the particular status we have. Status in the position we occupy in society prestige hirerchy."
Peran adalah perilaku yang diharapkan dari kita oleh karena status tertentu yang kita miliki. Status dalam posisi yang kita duduki dalam gengsi masyarakat secara hirarki. Kata ayah sendiri atau father berasal dari bahasa Latin pater yang oleh Webster didefinisikan sebagai orang tua laki-laki atau orang yang memegang tanggung jawab untuk melindungi, merawat dan membesarkan. Sejak awal tahun 1980, para ahli dan masyarakat telah memusatkan pada penggunaan kata father yang lebih efektif yaitu untuk melindungi, merawat, dan mengasuh anak (Grossman, 1988). Daniels and Weingarten (dalam Martin & Colbert, 1997) berpendapat:
The term “fatherhood click” has been used to describe a parenting style in which fathers learn to activity nurture their children with hands-on fathering and attention.
Istilah "kebapakan" telah digunakan untuk menguraikan suatu gaya orangtua dimana para bapak belajar aktivitas memelihara anak-anak mereka dengan menjadi ayah secara langsung dan perhatian. Seorang ayah yang bertanggung jawab ialah seorang ayah yang terlibat dalam interaksi dengan anak, sebagai seorang ayah, bukan layaknya seorang baby sitter yang menggantikan ibu sementara ibu sedang tidak dapat meninggalkan pekerjaan yang lain (Dagun, 1990).
Peran sebagai ayah efektif dapat dilihat dalam setiap fase, yaitu ketika sang ayah berhadapan dengan anaknya, mendidik, mengasuh, serta membimbing sesuai dengan tingkat perkembangannya (Dagun, 1990). Ayah yang ideal adalah ayah yang antara lain bersama dengan istrinya mengikuti kursus tentang kelahiran, membantu istrinya pada saat bersalin, hadir pada saat bayi lahir, dan ikut memberi makan anaknya (Dagun, 1990).
Tingginya peran ayah berhubungan dengan hasil yang positif pada anak, seperti kemampuan intelektual yang meningkat, kemandirian, perasaan kontrol yang lebih besar,, dan sikap yang kurang tradisional mengenai peran pria dan wanita, serta prestasi akademik dan kematangan social baik pada laki-laki maupun perempuan (Golombok & Susan, 1994)
Menurut Dagun (1990) mengatakan bahwa seorang ayah mempunyai kemampuan yang baik sekali dalam mengasuh anak bahkan terhadap bayi yang kecil apapun. Ayah dan Ibu mempunyai cara sendiri dalam mempengaruhi anaknya. Ayah cenderung menggunakan pendekatan fisik, dan ibu cenderung menggunakan pendekatan bahasa, lebih halus dan tenang. Bagi anak sendiri perbedaan cara ini membawa manfaat tersendiri. Peran ayah ialah memberikan dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak untuk memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal yang menarik diluar rumah, serta mengajak anak berdiskusi. Semua tindakan ini adalah peran ayah (orangtua) untuk memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya dan prestasi akademik dikemudian hari.
Menurut Dagun (1990) bahwa perkembangan anak yang tidak mendapatkan asuhan dan perhatian ayah, maka perkembangan anak akan menjadi pincang. Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan prestasi akademik menurun aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosial terbatas. Bahkan bagi anak laki-laki, ciri maskulin (ciri-ciri kelakian) bisa menjadi kabur.
Dari definisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran ayah merupakan perilaku yang diharapkan sehubungan dengan posisi atau status terberi di masyarakat sebagai orang tua laki-laki yang mendidik, mengasuh, serta membimbing anaknya sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
4. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis Multiaksial
Axis I : F 43.0 Reaksi Stres Akut
F 38.10 Gangguan Depresif Singkat Berulang
Axis II : tidak ada diagnosis
Axis III : tidak ada
Axis IV : Masalah dengan keluarga; kehilangan figur ayah
Axis V : GAF 80-71 (gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam social, pekerjaan, sekolah, dll)
5. PERAN DOKTER KELUARGA DAN PENATALAKSANAAN
a. Anamnesis (auto dan alloanamnesis), menggali riwayat kebiasaan dan tingkah laku keseharian, watak dan kepribadian, riwayat pengasuhan.
b. Pemeriksaan status mental
c. Menegakkan diagnosis sementara dan menentukan beberapa diagnosis diferensial
d. Merencanakan manajemen terhadap pasien, yakni konservatif (konseling serta edukasi yang melibatkan seluruh anggota keluarga). Dalam hal ini untuk lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiatri.
Psikoterapi
Psikoterapi dilakukan oleh orang yang berpengalaman/telah mendapat pelatihan.
a. Psikoterapi Individual
Terapi rawat jalan individual cocok bagi remaja yang masalahnya muncul sebagai konflik emosi dan perilaku yang tidak berbahaya, yag tidak terlalu kacau untuk dilakukan di luar ingkungan yang terstruktur, dan yang keluarga atau lingkungannya tidak terlalu terganggu sehingga menghilangkan pengaruh terapi. Terapi seperti ini secara khas berfokus pada konflik dan hambatan intrapsikik; pada makna emosi, sikap dan perilaku; dan pada pengaruh masa lalu dan masa kini.
b. Psikoterapi Kelompok
Dalam banyak cara, psikoterapi kelompok adalah lingkungan alami utuk remaja. Sebagian besar remaja lebih nyaman dengan teman sebaya daripada orang dewasa. Kelompok mengurangi perasaan tidak sama kuat antara ahli terapi dewasa dan pasien remaja. Partisipasi beragam bergantung pada kesiapan remaja. Tidak semua interpretasi dan konfrontasi berasal dari figur orang pada ahli terapi; anggota kelompok sering kali mahir memperhatikan perilaku simptomatik satu sama lain, dan remaja mungki merasa lebih mudah untuk mendengar dan mempertimbangkan komentar kritis atau menantang dari teman sebayanya.
c. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah modalitas utama jika kesulitan atau masalah remaja terutama mencerminkan disfungsi keluarga (misal, remaja yang menolak bersekolah, melarikan diri). Hal yang sama mungkin benar jika masalah perkembangan, seperti seksualitas remaja dan upaya keras untuk mandiri, memicu konflik keluarga.
e. Melakukan follow up jika perlu melakukan kunjungan rumah untuk mengevaluasi perubahan perilaku sebagai indikator keberhasilan edukasi serta konseling terhadap penderita dan keluarga
f. Merencanakan pemberian terapi medikamentosa sebagai pendukung upaya konservatif bila hasil evaluasi belum sesuai dengan yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim, Rusdi (edt). 2003. Buku Saku: Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. PT. Nuh Jaya: Jakarta
2. Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (Pegangan Bagi Dokter Puskesmas)
3. Putri, Yulitasari. 2008. Skripsi: Hubungan Antara Persepsi Tentang Peran Ayah Dengan Prestasi Akademik Pada Siswa SMP. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
4. Kaplan, H. I dan Sadock, B. J. 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Disusun Oleh :Mahasiswa Angkt 08 FK Unsri
Dian Permata Rizda 04081001067
Idha Yulfiwanti 04081001068
Fajriani Kurnia Rosdi 04081001069
Sardimon 04081001070
Franz Sinatra Yoga 04081001071
Zelfi Primasari 04081001072
Nia Wahyuni 04081001084
Dekta Mufhizah 04081001089
Yurika Erliani 04081001090
Fahrizal Dwiano Putra 04081001091
Andana Haris R. 04081001109
1 komentar:
boleh minta masukan gak? kira-kira, faktor apa saja sih yang dapat mempengaruhi seorang anak mengalami krisis figur bapak? selain tidak berfungsinya peran bapak dengan baik atau meninggalnya bapak pada saat anak masih kecil?mohon masukannya saya sedang ingin menulis karya ilmiah tentang anak-anak remaja yang mengalami krisis figur bapak/keteladanan bapak.thx
Posting Komentar